Faith - Hope - Love

16 August 2012

BERIMAN-BERAGAMA: MENENGOK AMERIKA LATIN

A. BERIMAN DENGAN SADAR
1. Keperluan Beriman
Diskusi di kalangan orang yang berinisiatif mendirikan partai baru mirip dengan diskusi pada awal masa kemerdekaan di antara para pendiri negara kita. Orang yakin bahwa negaranya harus dibenahi. Orang bertekad membenahi negara secara bersama. Namun orang juga sadar, bahwa ada sejumlah hambatan karena a.l. ada orang-orang yang rupanya memiliki agenda khusus. Sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia memperlihatkan keterbukaan orang-orang yang dari ideologinya sulit dipersatukan. Keterbukaan itu akhirnya mewujud dalam penerimaan Pembukaan UUD 1945. Pembukaan itu menunjukkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang diterima semua kalangan orang yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Sekaligus mereka sadar, bahwa prinsip kemanusiaan dan strategis maupun ekonomis tidak memadai untuk mengarahkan bangsa ini; sementara itu mereka juga sadar, bahwa pendasaran negara atas agama hanya akan membuat bangsa ini pecah. Oleh sebab itu, mereka bukannya membuang agama, melainkan mencari kesamaan semua pemeluk agama : yaitu bahwa semua beriman pada Tuhan Allah yang sama. Iman akan Tuhan itulah yang mempersatukan mereka yang memulai negara kita. Dengan latar belakang itu dapatlah kita sekarang ini mengaitkan praktek beriman dan praktek berbangsa dalam negara Indonesia, menjelang akhir abad 20, tanpa kuatir memecah belah bangsa. Para pendiri negara kita menerima ”iman pada Tuhan” sebagai salah satu landasan penting bangsa Indonesia dalam bernegara. Mengapa? Sebab manusia itu makhluk berbudi. Juga dalam iman, manusia justeru karena percaya kepada Tuhan yang menciptakannya, dia tetap makhluk berbudi. Bahkan budi diimani sebagai karunia Allah yang mulia. Maka manusia menghina Tuhan, kalau beriman secara sembarangan dan ikut-ikutan atau hanya secara emosional melulu. Manusia berwajib untuk memakai budi dan pikirannya dalam beriman, yaitu sejauh dia mampu. Artinya, manusia dipanggil untuk mencoba memahami wahyu Allah. Mungkin sekali atau bahkan pasti, bahwa manusia tidak dapat secara penuh memahami wahyu Allah. Budinya memang terbatas. Namun dalam batas tertentunya, dia wajib untuk mencoba menangkap kehendak Allah melalui wahyu. Dalam teologi, usaha itu terlaksana. Jadi teologi adalah usaha manusia secara metodis dan sistematis untuk memahami wahyu Tuhan dan iman. Usaha itu sendiri senantiasa terjadi, apakah kita sadari atau tidak. Tentu saja kedalamannya selalu tidak sama. Juga pengaitan antara pengalaman beriman dan pengalaman hidup di tengah bangsa tertentu, itu senantiasa terjadi : apakah disadari atau tidak. Perbedaan cara beriman dan berbangsa itu tampak sekali kalau kita memperhatikan orang-orang Amerika Latin dan kemudian membandingkannya dengan cara kita. Namun dalam perbedaan itu dapat pula ditemukan kemiripan.

2. Kemajemukan teologi
Karena teologi itu menyangkut iman dalam lubuk hati manusia yang terdalam maupun dalam kesibukannya setiap hari, padahal setiap orang berjumpa dengan Tuhan secara unik serta ada dalam situasi kompleks yang serba khusus juga, maka dapat dipahami bahwa ada beraneka teologi. Orang dengan pengalaman hidup tertentu terdorong untuk mencari pemahaman iman alias berteologi selaras dengan pengalaman dan situasinya. Situasi yang menjadi kancah kita beriman adalah situasi Indonesia. Maka, situasi Indonesia-lah tempat kita berteologi – mendalami iman. Juga masing-masing orang beriman di sini. Oleh sebab itu, dapatlah kita mengerti bahwa kemajemukan yang sudah dikatakan mengenai teologi itu bertambah dalam masyarakat dengan aneka iman, seperti Indonesia. Entah di Amerika Latin, entah di Indonesia, ada kemajemukan cara kita beriman dan kemajemukan cara kita berbangsa. Maka ada beraneka teologi di Amerika Latin (sebagaimana juga di Indonesia); ada pula berbagai teologi pembebasan Amerika Latin. 


(sumber Gambar:  forum.detik.com)
3. Sekali lagi ditegaskan bahwa teologi pembebasan dari siapa pun pertama-tama adalah suatu teologi. Artinya teologi pembebasan, bukan sosiologi, bukan ilmu politik, bukan ilmu antropologi, bukan strategi perang, dan sebagainya. Jadi, teologi pula bukan strategi politik. Teologi adalah logos (kata-kata atau rangkaian kata-kata yang tersusun secara metodis dan sistematis, seperti semua ilmu) mengenai Theos (Allah). Teologi bermaksud mengeksplisitkan pemahaman orang tetang pengalaman ber-Tuhan, percaya kepada Tuhan yang maha esa, imannya kepada Allah yang maha kuasa. Maka dari itu teologi adalah suatu rangkaian kata-kata yang ingin memperjelas makna iman orang kepada Allah. Manusia mengalami iman baik dalam lubuk hatinya yang terdalam yang disadarinya dalam kehidupan hatinya maupun dalam kesibukannya sehari-hari di tengah keluarga, keruwetan niaga maupun kecanggihan ilmu serta keramaian politik. Sebab manusia percaya kepada Dia yang menjadi seru sekalian alam, menguasai seluruh alam sampai ke segala sudut peristiwanya. Teologi, yang mau memperjelas makna iman itu, juga mencoba memahami warna iman baik dalam kedaan hening hati manusia maupun dalam aneka kesibukan hariannya. Itulah maksud teologi, termasuk teologi pembebasan.

4. Maka kalau orang mau bertanya tentang teologi pembebasan, selalu harus dilengkapi dengan pertanyaan “teologi pembebasan yang mana atau ditulis oleh siapa”. Bahkan pada beberapa orang masih harus ditambah pertanyaaan pelengkap : “teologi pembebasan tulis si anu pada masa mudanya ataukah pada masa tuanya?”. Sebab mungkin sekali, pada tahap berikut hidupnya, orang itu sudah membaharui teologinya. Maka orang tidak dapat menyamaratakan saja segala penulis teologi pembebasan, baik dari sudut tulisan maupun tingkah lakunya. Meskipun begitu, memang ada beberapa kemiripan unsur formal yang dapat ditemukan dalam kebanyakan teologi itu.

5. Teologi-teologi itu pada dasarnya berpikir dan berbicara tentang pembebasan manusia dari dosa. Pokok gagasan ini mempersatukan arah semua agama. Maka tidak mungkin melarang “teologi pembebasan”, tanpa melarang orang beriman dan berpikir. Pada hal suatu negara yang mengaku demokratis tidak mungkin melarang orang berpikir demokratis. Apa maksud kalimat-kalimat tersebut?

Dalam setiap diri manusia ada keinginan untuk mencapai kesempurnaan atau bersatu dengan Tuhan, Gustinya. Kerap kali keinginan itu dikalimatkan dengan ”dibebaskan dari penjara daging ini”. Atau ”dibebaskan dari dunia ini”, dan sebagainya. Dalam agama-agama yang mempunyai akar di India, kita mengenal kehausan akan Nirvana; dalam agama-agama yang asal mulanya di Asia barat, kita mengenal keinginan untuk ”masuk surga”. Keinginan manusia untuk berjumpa dan bersatu dengan Gustinya itu merupakan jeritan kodrat yang fundamental akan pembebasan dari segala yang menghalangi kebahagian sempurna. Pengahalang kebahagian sempurna itu kadang kala dilihat manusia terdapat dalam penderitaan batin, kesedihan berkepanjangan, kekecewaan mendalam, tetapi tidak jarang juga terasa dalam hidup bertetangga yang penuh cekcok atau hidup perniagaan yang serba bangkrut maupun dalam upaya politik yang menemui jalan buntu dimana pun. Orang juga dapat memandang buruknya hubungan pribadi sebagai penghalang kebahagiaan sempurna, tetapi dapat juga melihat pola perdagangan atau cara berpolitiklah yang menghambat (misalnya praktek rentenir atau diktator). Dalam mengalami semuanya itulah orang bertanya-tanya ”sungguhkah Tuhan mencintai dan berbelaskasih kepada saya dan seluruh sanak keluargaku. Apakah Tuhan benar-benar akan membebaskan aku dari segala penderitaan ini?”. Atas dasar pertanyaaan semacam itulah lahirlah apa yang saat ini dikenal sebagai teologi pembebasan, sebagai salah satu aliran dari berbagai macam teologi.

B. KONTEKS LAHIRNYA ”YANG DISEBUT TEOLOGI-TEOLOGI”
1. Walaupun dalam semua bangsa dan semua agama iman akan Allah itu berkaitan erat dengan kehausan akan pembebasan dasariah, namun kelaparan akan pembebasan yang diterjemahkan dalam teologi itu dalam masa modern ini mencuat jelas di sejumlah negara, yakni yang mengalami paradoks hidup yang pahit. Di satu pihak penduduk negara-negara itu percaya kepada Bapa pencipta bumi langit, yang karena cintanya telah mengirim Sang Putera, dan yang pada gilirannya memperlihatkan cinta itu justeru dengan wafat untuk kemudian dibangkitkan serta mencurahkan RohNya untuk mengutus anak buahNya guna menabur cinta dimanapun mereka berada; di lain pihak orang-orang yang mengaku menjadi utusan cinta itu koq justru saling bunuh membunuh dan saling menjagal. Itulah konteks dasar yang ada di Amerika Latin. Dari situ muncul pertanyaan teologi (bukan politis). ”apakah iman kepada Yesus Kristus masih mempunyai arti dalam situasi paradoksal semacam itu?”. Di manakah Allah yang katanya mencintai manusia itu bersembunyi? Ataukah Allah sudah tidak mencintai manusia lagi? (Sampai di sini tidak perlulah orang beragama tersinggung, seakan-akan teolog pembebasan menghujat Allah. Sebab orang tidak mempermasalahkan Allah melainkan mencari tempat iman akan Allah di tengah kemelut dunia ini). Ataukah jangan-jangan ada penjelasan lain? Nah di sinilah muncul awal penjelasan teologi (dan teologi-teologi pembebasan) mengenai konteks hidup yang hampir tanpa harapan itu dan sarat dengan jerat-jeratnya. Situasi tanpa harapan itu amat ruwet. Setiap kali orang menguraikannya, setiap kali gagal. Setiap kali orang mencari jalan keluar, setiap kali orang jatuh lagi. Rupanya diagnosis yang tepat sulit sekali diperoleh. Orang tidak melihat jalan keluar dari jalan yang buntu itu kalau orang hanya memakai penjelasan-penjelasan kuno : ”sudahlah kamu percaya saja kepada kebahagiaan kelak kalau di surga” (sebab orang itu menderitanya sekarang ini, maka juga mempertanyakan keadilan Tuhan sekarang ini); atau ”kesusahan ini hanya maya saja sebetulnya kamu bahagia” (sebab kelaparan dan rasa sakit itu sungguh menyayat lambung dan hati); atau ”sudahlah nurut saja kepada bimbingan dukun A atau B, Pak Badu atau Bu Polan, pasti beres” (sebab sesudah menurut saja selama berpuluh tahun, ternyata nasib tidak membaik); atau ”kebijakan kita secara keseluruhan sebetulnya baik, hanya untuk sebagian kita belum OK” (lha nyatanya, secara persentase orang kelaparan dan kebodohan di Amerika latin semakin banyak dan hutang negara di sana semakin menggunung). Bagaimana ini : ”Apa arti Tuhan memang masih sayang kepada kita”. Lalu apa artinya kalau dikatakan ”Yesus menebus manusia?” Banyak penjelasan dicari oleh teolog untuk menemukan diagonis yang paling tepat dalam konteks Amerika Latin, untuk mengungkapkan bahwa iman kepada Allah yang maha kasih itu juga dalam saat malapetaka ini bukan omong kosong.

2. Komitmen Dasar Akar seluruh sikap yang dipergunakan oleh para teolog dan umat di Amerika Latin adalah iman akan cinta Allah yang menyerahkan PuteraNya sendiri untuk menjadi teman ziarah manusia, menderita berat dan mati hina, kemudiaan dimuliakan serta menguatkan anak buahnya dengan Roh cinta. Mereka percya, bahwa Allah tidak jauh diangkasa, melainkan menjadi satu dengan manusia, betapapun buruk kadaannya. Maka umat tidak perlu dan tidak boleh putus asa. Sikap tidak putus asa itu harus tampak baik dalam hidup pribadi maupun dalam hidup bersama, yaitu terus menerus mencari diagnosis penyakit masyarakat ini dan senantiasa cari obat jalan keluarnya. Jadi akar dan isi theologi semacam ini adalah sikap iman.

3. Sikap iman yang menjelma
Sikap iman tersebut mendorong orang untuk mencari kejelasan tentang seluk beluk penderitaan umat yang mempunyai iman yang sama. Mereka melihat bahwa secara lahiriah menjadi anggota suatu kelompok agama itu belum tentu sama dengan secara nyata beriman. Ada kesenjangan antara iman dan perbuatan. Kecuali itu kadangkala iman memang cukup kuat untuk mendorong orang melakukan beberapa tindakan kebaktian tertentu, tetapi tidak cukup jernih untuk memungkinkan orang memahami kehendak nyata Tuhan di suatu saat, apalagi mencari jalan pelaksanaanya dibidang politik, serta memeluknya dengan sepenuh hati. Jadi ada kesenjangan antara ibadat dan kebaktian dengan praktek iman di lingkup pribadi atau publik. Iman yang hidup merangsang budi. Tetapi harus memperkembangkanya sendiri pemikirannya. Iman harus mendorong pikiran untuk memperjelas seluk beluk dunia pribadi dan dunia sosialnya. Dengan itu budi beriman berpartisipasi pada pembebasan manusia. Untuk itu budi memerlukan banyak sarana agar dapat mengamati aneka seluk beluk masyarakat secara tepat. Metode-metode ini beraneka menurut kemampuan dan asal teolog yang bersangkutan. Dari sinilah terjadinya aneka teologi pembebasan. Sumbangan pemikiran dari dunia psikologi, sosiologi dan lain-lain sangat membantu pengembangan pengabdian budi pada iman. Orang beriman semacam itu akan terus menerus berusaha menjadikan wahyu Allah setiap saat dan situasi berbicara kepada manusia, baik secara verbal maupun melalui tindakan nyata.

4. Aneka Metode
Di kalangan para ahli yang penting seputar teologi pembebasan ada beberapa metode yag sering kali dipergunakan. Ada yang menggali pola berpikir dalam Alkitab, untuk menemukan kemiripan situasi, pemahaman dan penanganan masyarakat sekarang (metode alkitabiah); ada yang mempelajarai ajaran-ajaran Gereja dari abad ke abad untuk dipetik pesannya bagi penyelesaian keruwetan sekarang ini (metode dogamtis); ada yang lebih menggunakan metode filsafat untuk mencari penjelasan atas kehausan rakyat akan pembebasan itu (metode filsafat); ada pula yang menggunakan metode sosiologis; ada pula yang memakai semua itu. Dalam golongan yang memakai pengamatan sosiologis, ada yang meminjam analisis para sosiolog modern, dan dari antara mereka ini ada yang memakai analisis Marx.

C. BEBERAPA PERCOBAAN PENILAIAN
1. Karena ada banyak teologi dan banyak pula teologi-teologi pembebasan, maka diperlukan banyak studi untuk mengetahui dengan jelas aneka aliran didalamnya. Pada hemat kami, justeru demi kejelasan dan kelugasan, perlulah ada usaha-usaha ilmiah dan obyektif untuk memaparkan dengan lugas, aneka pola teologi pembebasan yang ada.

2. Keprihatinan dasar para ahli teologi – teologi pembebasan itu senafas dengan keprihatinan dasar semua umat yang percya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan umat beragama , yang misalnya terungkap dalam kerinduan akan persatuan antara Tuhan dan manusia, kepercayaan bahwa kesejahteraan manusia itu di tangan Tuhan, kebiasaan untuk mencari kehendak Allah (’neges kersaning Allah’), iman tanpa perbuatan itu kosong, iman itu bukan hanya urusan batin melainkan harus kelihatan dalam hidup bersama manusia , keinginan untuk dibebaskan dari segala penderitaan, dan sebagainya.

3. Karena minat pertama para ahli dari teologi–teologi pembebasan itu menjelaskan iman, maka sepantasnya kalau penilaiannya memakai kriteria – kriteria iman. Dan karena iman itu keterlibatan pribadi pada Tuhan yang sangat khas, maka dinamikanya berwarna batiniah serta berkembang menurut hukum–hukum hidup rohani manusia, bukan menurut ketentuan– ketentuan hukum lahiriah dan kemasyarakatan.

4. Usaha untuk menjelaskan ikatan antara iman dan hidup kemasyarakatan tidaklah mudah. Penjelasan yang terlampau dipergampang dapat membawa buah kebalikannya, yaitu orang tidak diyakinkan, bahkan orang dapat menolak. Diperlukan usaha serius dari segala segi untuk itu. Maka perlu didukung usaha keilmuan untuk mencari hubungan sejati antara dunia iman , dunia ilmu dan kemasyarakatan.

5. Metode yang diperlukan untuk usaha terakhir ini harus meneliti segi kemasyarakatan, segi kepribadian, segi keimanan. Untuk itu kita perlu menganggap serius usaha pelbagai ahli peneliti seluk beluk hidup kemasyarakatan, baik dari ilmu sosiologi, psikologi, politik, filsafat, theologi, dan sebagainya. Semua ini memang justru menunjukkan bahwa theologi adalah kegiatan pemikiran manusia yang di dalamnya terkandung keterbatasan – keterbatasan . Karena itu perlu pula dibedakan antara iman, agama dan theologi.

6. Sementara itu dapat saja kita secara sehat dan ilmiah mempertanyakan, sejauh mana metode Marx relevan untuk kita pergunakan . Masyarakat Amerika Latin mewarisi kebudayaan Eropa yang juga melatarbelakangi metode Marx . Bisa secara ilmiah diselidiki , seberapa banyakkah unsur kebudayaan Eropa sekarang ini mewarnai masyarakat kita. Dalam hal itu tidak perlulah kita gegabah mengatakan bahwa kita mempunyai kebudayaan sendiri. Tentu saja kita sebagai bangsa memiliki kebudayaan sendiri . Akan tetapi dapat diteliti, sungguhkah buah – buah kebudayaan Eropa (musik, komoditi, gaya hidup dan lain lain ) benar–benar tidak mewarnai kebudayaan kita. Lalu metode yang kita perlukan untuk mengamati seluk beluk masayarakat kita ?

7. Pimpinan Gereja Katolik di Vatikan telah beberapa kali memeriksa aneka segi teologi–teologi pembebasan. Mereka menyambut baik keprihatinan dasarnya, bahwa iman kepada Yesus Kristus tidak dapat tidak membawa keterlibatan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia dalam segala seginya, bersama dengan semua pemeluk agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Sementara itu dikritiklah usaha beberapa orang yang terlalu mau memutlakkan analisis sosial Marx sedemikian sehingga unsur – unsur atheistisnya mencuat ke depan. Teologi harus tetap teologi, yaitu ilmu iman, maka teologi harus tetap menjunjung tinggi kepercayaan kepada Tuhan. Dengan begitu disambutlah segi baik teologi – teologi pembebasan, dan disiangi pulalah segi – segi buruk daripadanya.

8. Teologi – teologi pembebasan adalah teologi, bukan sosiologi, bukan ilmu politik, bukan strategi pengerahan massa, bukan idiologi dan sebagainya. Maka dari itu, perlu dinilai dan diperlukan serta memperlakukan diri sebagai teologi, yaitu salah satu ilmu dalam rangka penghayatan iman.

9. Andaikata ada orang yang mengambil langkah politis tertentu atas dasar suatu teori tertentu yang katanya dipetik dari teologi – teologi pembebasan, perlulah ucapan itu dinilai : ketepatan dan kebenarannya. Untuk itu suatu pemeriksaan teliti perlu diadakan. Dalam hal itu adat kebiasaan demokratis rasanya memadai untuk secara tenang mengolah percaturan politis, yang seringkali memang membawa perbedaan pendapat. Kadangkala perlulah diperiksa, apakah orang semacam itu sama dengan orang yang karena fanatisme kesukuan menyerang istana seorang Sultan atau karena setengah–setengah memahami ajaran suatu agama lalu meledaklah tangker minyak.

10. Pada dasarnya para ahli teologi pembebasan dan teman – teman pemeluk kristiani menerima prinsip seperti Yesus Kristus , yang menabur benih cinta kasih dimanapun Ia hadir. Maka kekerasan bukanlah pilihan langkah pengikut Yesus Kristus. Maka teologi yang menganjurkan kekerasan sulit menyebut diri teologi kristiani. 


Sumber: Mr.Paul

Comments :

0 komentar to “BERIMAN-BERAGAMA: MENENGOK AMERIKA LATIN”

Post a Comment

Copyright © 2009 by Widi Agung "Tekek" Nugroho

Template by Blog Templste 4 U | Edited By Free Download