Faith - Hope - Love

09 September 2012

MEWUJUDKAN IMAN LEWAT ”KEPEMIMPINAN”

Biasanya kita mendapat tugas disuatu lingkungan karya untuk ikut mengarahkan karya itu, walaupun tidak jarang dalam kedudukan resmi yang tidak memimpin. Akan tetapi kedudukan semacam itu nyatanya menuntut dari kita agar seringkali menjalankan ”komunikasi yang memimpin”. Dalam pengutusan semacam itu, baiklah diperhatikan beberapa peranan yang berbeda-beda, agar kita dapat bertindak secara proporsional : tidak terlalu takut-takut, akan tetapi juga dengan tahu menempatkan diri (tidak sok-tahu, sok-kuasa atau merasa menjadi petugas operasi khusus dari Pimpinan)

A. PERANAN PENUGASAN
Yang dimaksudkan di sini adalah aneka peranan yang kita lakukan dalam rangka menjalankan penugasan kerja yang harian : menjadi guru, menjadi anggota tim pimpinan sekolah, menjadi petugas yayasan dsb.

1. Mengambil suatu inisiatif
Kita diundang untuk mengambil inisiatif dalam suatu penugasan. Istilah ”mengambil inisiatif” tidak berarti, sekan-akan kita perlu harus senantiasa memulai sesuatu yang serba baru, tetapi juga dapat dalam arti, bahwa kita mengambil inisiatif untuk memepelajari sesuatu tugas yang sudah lama ada di sekolah atau lingkungan yang bersangkutan bukannya ”duduk/berdiri menunggu saja, sampai senior kita menawarkan sesuatu pekerjaan”). Terutama kalau kita sedang memasuki suatu bidang baru, yang belum penuh-penuh kita ketahui seluk beluknya atau yang baru sedikit kita kenal, malah sangat perlu bahwa kita menampilkan diri dengan sikap ”mau belajar”. Hal itu misalnya terjadi dengan mau mengambil inisiatif untuk menyelami liku-liku kesibukan lingkungan kerja, dari yang paling sehari-hari di tempat, sampai ke yang paling berbelit-belit dalam hubungan dengan petugas pemerintah atau instansi lain. Apabila kita sudah melihat-lihat, barulah kita secara berangsur-angsur melihat keseluruhan struktur lingkungan kerja, dan mulai mengusulkan perbikan sana-sini, melalui prosedur yang paling serasi.

2. Mencari Informasi
Unsur ini merupakan unsur yang seringkali amat melelahkan dan membutuhkan ketekunan tinggi di samping hati yang tidak kecil. Sebab dalam unsur ini kita harus bertolak dari sikap ; kita tidak tahu apa-apa (banyak). Maka yang peru kita lakukan adalah membuka mata dan telinga selebar mungkin. Yang dicari adalah : faka dan nilai dibalik fakta. Fakta itu dapat berkaitan dengan benda, orang, kelembagaan dan proses. Di balik aneka fakta itu perlulah kita mencari nilai-nilai yang barangkali disimpan dan dikejar orang. Usaha ini lebih sulit lagi. Sebab kadangkala, orang yang mengerjakan sesuatu tugas, tidak cukup mengetahui, nilai mana yang mereka kejar, dan andai kata mereka mengetahui nilai itu, toh seringkali mereka tidak dapat merumuskannya dengan tepat. Dalam rangka mencari informasi mengenai fata dan nilai dibalik fakta itu, perlulah diperhatikan perasaan, pandangan dan sikap yang ada di lingkungan kerja kita. Pada pengembangan unsur ini kadangkala kita diundang untuk mendalami fakta dan nilai dibalik fakta itu dengan bantuan informasi yang telah kita punyai dari tempat lain (studi, pengalaman, bacaan sendiri dsb). Peranan kita di situ tidak untuk menggurui melainkan untuk menggali informasi yang kena pada kenyataan karya sehari-hari.

3. Penguraian
Informasi yang kita terima tidak senantiasa sudah memberikan gambaran yang jelas mengenai segala sesuatunya di lapangan kerja. Oleh sebab itu, perlulah bahwa kita mencoba menguraikan informasi, sehingga masalah-masalahnya lebih jelas dan supaya masalah dasarnya juga mulai tampil di permukaan. Penguraian itu dapat terjadi entah dengan menganalisis persoalan satu persatu, entah dengan mencari kaitan masalah yang satu dengan yang lain. Apabila masalah sudah terurai, dapatlah kita mengevaluasi keseluruhan duduk perkaranya, menyimpulkan permasalahan dasarnya dan menggali orientasi pokoknya : ke sanalah mungkin arah penyelesaian perkara.

4. Bertindak
Kalau arah penyelesaian masalah sudah menjadi jelas, dapatlah kita memikirkan langkah pelaksanaanya. Sasaran kerja harus ditetapkan dahulu berikut cara, tolok ukur penilaian hasilnya kelak dan evaluasinya nanti. Kemudian tindakan-tindakan perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan teliti serta dikontrol dengan cermat pula.


B. PERANAN MEMPERTAHANKAN YANG SUDAH DICAPAI
Seringkali semangat kita berkobar-kobar, sehingga mata selalu diarahkan ke masa depan. Tidak jarang hal itu membawa akibat yang mengecewakan yaitu bahwa kita melalaikan memelihara apa yang sudah kita capai, padahal yang baru juga belum kita raih.’ Apa yang kita capai ’ tidak selalu berupa benda atau prestasi tertentu , akan tetapi juga ’ suasana kerjasama ’ atau ’perasaan memiliki’ di antara rekan –rekan sekerja.

1. Mendukung dan membesarkan hati :
Faktor suatu lingkungan kerja yang paling berharga bukanlah gedung dan uang , melainkan rekan sekerja yang memiliki kerekanan kerja yang tinggi, walaupun mungkin sekali prestasi kerjanya tidak sangat luar biasa . Maka dari itu, salah satu langkah yang amat perlu diperhatikan adalah mengakui jasa mereka yang mendahului kita bekerja di suatu tempat (kendati segala kekurangan yang mungkin tampak pada pandangan pertama atau dari ungkapan orang lain). Pengakuan semacam itu tentu saja harus terucap tulus dan proporsional sehingga tidak berbunyi ’dibuat buat’. Namun, kalau kita teliti memperhatikan aneka segi kerja dan kerjasama, biasanya ditemukan juga beberapa hal yang perlu mendapat pengakuan atau malah pujian dari kita. Kadangkala kita juga dapat memberi penghargaan kepada keterlibatan seseorang, walaupun kita tidak memberi penilaian tinggi terhadap isi prestasi mereka. Dalam tindakan – tindakan semacam ini tampaklah, bagaimana kita memberi prioritas penghargaan kepada lingkungan kerja kita : pada pribadi ataukah kepada benda/hasil produksi mereka? (’memperlakukan mereka sebagai manusia atau sebagai mesin’).

2. Membuka komunikasi.
Salah satu masalah terpenting dalam hidup bersama dan kerjsama adalah : menjaga terselenggaranya komunikasi. Tidak jarang memang kita secara resmi menyediakan saluran komunikasi, akan tetapi dapat terjadi bahwa tidak ada orang yang memanfaatkan saluran komunikasi itu. Boleh jadi, bagi banyak orang tidak jelaslah pembukaan saluran tertentu itu, atau keterbukaannya tidak cukup lebar, atau syaratnya terlampau tinggi, atau ada kelompok yang tidak cukup mendapat kesempatan untuk mengkomunikasikan diri. Mungkin juga mereka semua dibebani pekerjaan yang de fakto sedemikian berat dan mengikat serta menghabiskan tenaga maupun waktu, sehingga kesempatan komunikasi itu tidak mungkin mereka manfaatkan. Dalam suatu sistem kepemimpinan partisipatif, komunikasi ini menjadi unsur pokok.

3. Mempersatukan
Persekutuan hidup maupun persekutuan karya membutuhkan persatuan. Tentu saja itu tidak usah berarti bahwa dalam segala hal kita semua serba sepakat sejak awal sampai akhir. Tetapi suatu porsi persatuan perlu dicapai dan dijaga serta diusahakan kalau memang tidak sejak semula persatuan sudah tampak. Untuk itu aneka perbedaan faham perlu ditampung dengan serius dan dikupas masalahnya serta dicari pemanduannya Kalau toh terjadi konflik , tidak tentu harus cepat – cepat dicari komprominya, akan tetapi tetap perlu dicarikan penyelsaiannya. Persauan itu dapat terjadi dalam beberapa taraf; persatuan dibidang perasaan, persatuan dibidang pemikiran dan/atau persatuan dalam tingkah laku. Masing-masing dan seluruh persatuan itu mempunyai nilainya, yang semakin menyeluruh semakin bernilai bagi suatu persekutuan. Persatuan itu juga dapat terjadi dalam lingkup personal, akan tetapi juga dapat berlangsung dalam lingkup struktural. Dalam rangka mengusahakan persatuan itu perlulah kita mampu menciptakan suasana yang dapat menetralisasikan ketegangan dan pertengkaran yang panas. Usaha ini dapat ditingkatkan apabila kita secara struktural mengadakan meknisme pengendoran saraf, rekreasi dan istirahat yang memadai.


C. PERANAN INSPIRATIF
Yang terpenting dari segala peranan kita adalah menjadi saksi iman : yaitu saksi bahwa Bapa kita mau menyelamatkan kita dalam Yesus Kristus berkat kekuatan Roh. Artinya, kita harus menjadi saksi, bahwa Allah mau mempersatukan kita dengan semua rekan sekerja kita dan rekan serumah kita untuk menjadi tanda kelihatan, bahwa Allah mencintai dan mau mengembangkan semesta alam.
Oleh sebab itu, seluruh penampilan, segala kata dan setiap pemikiran serta segenap perilaku kita perlu memancarkan inspirasi iman tersebut. Dengan kata lain, jiwa yang menjadi pendorong pelayanan kita dalam lingkungan hidup dan lingkungan karya bukanlah pertama-tama hasil material, hasil organisatoris, hasil intelekual, hasil psikilogis (walaupun semua itu sungguh berarti), akan tetapi dalam segala hasil itu kita merasakan inspirasi cinta Tuhan. Bila begitu, maka hidup dan karya kita menjadi inspiratif, seperti ingin kita ungkapkan waktu kita mengucapkan kaul-kaul kita : mau hidup hanya bagi Tuhan.
Baik lingkungan hidup maupun lingkungan karya memerlukan keterlibatan kita : masing-masing dengan cara yang tepat. Namun setiap tempat memberikan tantangan yang tersendiri kepada kita yang juga mempunyai bakat dan tabiat berbeda-beda, walaupun melayani panggilan yang sama : demi semakin besarnya kemuliaan Allah.

16 August 2012

BERIMAN-BERAGAMA: MENENGOK AMERIKA LATIN

A. BERIMAN DENGAN SADAR
1. Keperluan Beriman
Diskusi di kalangan orang yang berinisiatif mendirikan partai baru mirip dengan diskusi pada awal masa kemerdekaan di antara para pendiri negara kita. Orang yakin bahwa negaranya harus dibenahi. Orang bertekad membenahi negara secara bersama. Namun orang juga sadar, bahwa ada sejumlah hambatan karena a.l. ada orang-orang yang rupanya memiliki agenda khusus. Sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia memperlihatkan keterbukaan orang-orang yang dari ideologinya sulit dipersatukan. Keterbukaan itu akhirnya mewujud dalam penerimaan Pembukaan UUD 1945. Pembukaan itu menunjukkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang diterima semua kalangan orang yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Sekaligus mereka sadar, bahwa prinsip kemanusiaan dan strategis maupun ekonomis tidak memadai untuk mengarahkan bangsa ini; sementara itu mereka juga sadar, bahwa pendasaran negara atas agama hanya akan membuat bangsa ini pecah. Oleh sebab itu, mereka bukannya membuang agama, melainkan mencari kesamaan semua pemeluk agama : yaitu bahwa semua beriman pada Tuhan Allah yang sama. Iman akan Tuhan itulah yang mempersatukan mereka yang memulai negara kita. Dengan latar belakang itu dapatlah kita sekarang ini mengaitkan praktek beriman dan praktek berbangsa dalam negara Indonesia, menjelang akhir abad 20, tanpa kuatir memecah belah bangsa. Para pendiri negara kita menerima ”iman pada Tuhan” sebagai salah satu landasan penting bangsa Indonesia dalam bernegara. Mengapa? Sebab manusia itu makhluk berbudi. Juga dalam iman, manusia justeru karena percaya kepada Tuhan yang menciptakannya, dia tetap makhluk berbudi. Bahkan budi diimani sebagai karunia Allah yang mulia. Maka manusia menghina Tuhan, kalau beriman secara sembarangan dan ikut-ikutan atau hanya secara emosional melulu. Manusia berwajib untuk memakai budi dan pikirannya dalam beriman, yaitu sejauh dia mampu. Artinya, manusia dipanggil untuk mencoba memahami wahyu Allah. Mungkin sekali atau bahkan pasti, bahwa manusia tidak dapat secara penuh memahami wahyu Allah. Budinya memang terbatas. Namun dalam batas tertentunya, dia wajib untuk mencoba menangkap kehendak Allah melalui wahyu. Dalam teologi, usaha itu terlaksana. Jadi teologi adalah usaha manusia secara metodis dan sistematis untuk memahami wahyu Tuhan dan iman. Usaha itu sendiri senantiasa terjadi, apakah kita sadari atau tidak. Tentu saja kedalamannya selalu tidak sama. Juga pengaitan antara pengalaman beriman dan pengalaman hidup di tengah bangsa tertentu, itu senantiasa terjadi : apakah disadari atau tidak. Perbedaan cara beriman dan berbangsa itu tampak sekali kalau kita memperhatikan orang-orang Amerika Latin dan kemudian membandingkannya dengan cara kita. Namun dalam perbedaan itu dapat pula ditemukan kemiripan.

2. Kemajemukan teologi
Karena teologi itu menyangkut iman dalam lubuk hati manusia yang terdalam maupun dalam kesibukannya setiap hari, padahal setiap orang berjumpa dengan Tuhan secara unik serta ada dalam situasi kompleks yang serba khusus juga, maka dapat dipahami bahwa ada beraneka teologi. Orang dengan pengalaman hidup tertentu terdorong untuk mencari pemahaman iman alias berteologi selaras dengan pengalaman dan situasinya. Situasi yang menjadi kancah kita beriman adalah situasi Indonesia. Maka, situasi Indonesia-lah tempat kita berteologi – mendalami iman. Juga masing-masing orang beriman di sini. Oleh sebab itu, dapatlah kita mengerti bahwa kemajemukan yang sudah dikatakan mengenai teologi itu bertambah dalam masyarakat dengan aneka iman, seperti Indonesia. Entah di Amerika Latin, entah di Indonesia, ada kemajemukan cara kita beriman dan kemajemukan cara kita berbangsa. Maka ada beraneka teologi di Amerika Latin (sebagaimana juga di Indonesia); ada pula berbagai teologi pembebasan Amerika Latin. 


(sumber Gambar:  forum.detik.com)
3. Sekali lagi ditegaskan bahwa teologi pembebasan dari siapa pun pertama-tama adalah suatu teologi. Artinya teologi pembebasan, bukan sosiologi, bukan ilmu politik, bukan ilmu antropologi, bukan strategi perang, dan sebagainya. Jadi, teologi pula bukan strategi politik. Teologi adalah logos (kata-kata atau rangkaian kata-kata yang tersusun secara metodis dan sistematis, seperti semua ilmu) mengenai Theos (Allah). Teologi bermaksud mengeksplisitkan pemahaman orang tetang pengalaman ber-Tuhan, percaya kepada Tuhan yang maha esa, imannya kepada Allah yang maha kuasa. Maka dari itu teologi adalah suatu rangkaian kata-kata yang ingin memperjelas makna iman orang kepada Allah. Manusia mengalami iman baik dalam lubuk hatinya yang terdalam yang disadarinya dalam kehidupan hatinya maupun dalam kesibukannya sehari-hari di tengah keluarga, keruwetan niaga maupun kecanggihan ilmu serta keramaian politik. Sebab manusia percaya kepada Dia yang menjadi seru sekalian alam, menguasai seluruh alam sampai ke segala sudut peristiwanya. Teologi, yang mau memperjelas makna iman itu, juga mencoba memahami warna iman baik dalam kedaan hening hati manusia maupun dalam aneka kesibukan hariannya. Itulah maksud teologi, termasuk teologi pembebasan.

4. Maka kalau orang mau bertanya tentang teologi pembebasan, selalu harus dilengkapi dengan pertanyaan “teologi pembebasan yang mana atau ditulis oleh siapa”. Bahkan pada beberapa orang masih harus ditambah pertanyaaan pelengkap : “teologi pembebasan tulis si anu pada masa mudanya ataukah pada masa tuanya?”. Sebab mungkin sekali, pada tahap berikut hidupnya, orang itu sudah membaharui teologinya. Maka orang tidak dapat menyamaratakan saja segala penulis teologi pembebasan, baik dari sudut tulisan maupun tingkah lakunya. Meskipun begitu, memang ada beberapa kemiripan unsur formal yang dapat ditemukan dalam kebanyakan teologi itu.

5. Teologi-teologi itu pada dasarnya berpikir dan berbicara tentang pembebasan manusia dari dosa. Pokok gagasan ini mempersatukan arah semua agama. Maka tidak mungkin melarang “teologi pembebasan”, tanpa melarang orang beriman dan berpikir. Pada hal suatu negara yang mengaku demokratis tidak mungkin melarang orang berpikir demokratis. Apa maksud kalimat-kalimat tersebut?

Dalam setiap diri manusia ada keinginan untuk mencapai kesempurnaan atau bersatu dengan Tuhan, Gustinya. Kerap kali keinginan itu dikalimatkan dengan ”dibebaskan dari penjara daging ini”. Atau ”dibebaskan dari dunia ini”, dan sebagainya. Dalam agama-agama yang mempunyai akar di India, kita mengenal kehausan akan Nirvana; dalam agama-agama yang asal mulanya di Asia barat, kita mengenal keinginan untuk ”masuk surga”. Keinginan manusia untuk berjumpa dan bersatu dengan Gustinya itu merupakan jeritan kodrat yang fundamental akan pembebasan dari segala yang menghalangi kebahagian sempurna. Pengahalang kebahagian sempurna itu kadang kala dilihat manusia terdapat dalam penderitaan batin, kesedihan berkepanjangan, kekecewaan mendalam, tetapi tidak jarang juga terasa dalam hidup bertetangga yang penuh cekcok atau hidup perniagaan yang serba bangkrut maupun dalam upaya politik yang menemui jalan buntu dimana pun. Orang juga dapat memandang buruknya hubungan pribadi sebagai penghalang kebahagiaan sempurna, tetapi dapat juga melihat pola perdagangan atau cara berpolitiklah yang menghambat (misalnya praktek rentenir atau diktator). Dalam mengalami semuanya itulah orang bertanya-tanya ”sungguhkah Tuhan mencintai dan berbelaskasih kepada saya dan seluruh sanak keluargaku. Apakah Tuhan benar-benar akan membebaskan aku dari segala penderitaan ini?”. Atas dasar pertanyaaan semacam itulah lahirlah apa yang saat ini dikenal sebagai teologi pembebasan, sebagai salah satu aliran dari berbagai macam teologi.

B. KONTEKS LAHIRNYA ”YANG DISEBUT TEOLOGI-TEOLOGI”
1. Walaupun dalam semua bangsa dan semua agama iman akan Allah itu berkaitan erat dengan kehausan akan pembebasan dasariah, namun kelaparan akan pembebasan yang diterjemahkan dalam teologi itu dalam masa modern ini mencuat jelas di sejumlah negara, yakni yang mengalami paradoks hidup yang pahit. Di satu pihak penduduk negara-negara itu percaya kepada Bapa pencipta bumi langit, yang karena cintanya telah mengirim Sang Putera, dan yang pada gilirannya memperlihatkan cinta itu justeru dengan wafat untuk kemudian dibangkitkan serta mencurahkan RohNya untuk mengutus anak buahNya guna menabur cinta dimanapun mereka berada; di lain pihak orang-orang yang mengaku menjadi utusan cinta itu koq justru saling bunuh membunuh dan saling menjagal. Itulah konteks dasar yang ada di Amerika Latin. Dari situ muncul pertanyaan teologi (bukan politis). ”apakah iman kepada Yesus Kristus masih mempunyai arti dalam situasi paradoksal semacam itu?”. Di manakah Allah yang katanya mencintai manusia itu bersembunyi? Ataukah Allah sudah tidak mencintai manusia lagi? (Sampai di sini tidak perlulah orang beragama tersinggung, seakan-akan teolog pembebasan menghujat Allah. Sebab orang tidak mempermasalahkan Allah melainkan mencari tempat iman akan Allah di tengah kemelut dunia ini). Ataukah jangan-jangan ada penjelasan lain? Nah di sinilah muncul awal penjelasan teologi (dan teologi-teologi pembebasan) mengenai konteks hidup yang hampir tanpa harapan itu dan sarat dengan jerat-jeratnya. Situasi tanpa harapan itu amat ruwet. Setiap kali orang menguraikannya, setiap kali gagal. Setiap kali orang mencari jalan keluar, setiap kali orang jatuh lagi. Rupanya diagnosis yang tepat sulit sekali diperoleh. Orang tidak melihat jalan keluar dari jalan yang buntu itu kalau orang hanya memakai penjelasan-penjelasan kuno : ”sudahlah kamu percaya saja kepada kebahagiaan kelak kalau di surga” (sebab orang itu menderitanya sekarang ini, maka juga mempertanyakan keadilan Tuhan sekarang ini); atau ”kesusahan ini hanya maya saja sebetulnya kamu bahagia” (sebab kelaparan dan rasa sakit itu sungguh menyayat lambung dan hati); atau ”sudahlah nurut saja kepada bimbingan dukun A atau B, Pak Badu atau Bu Polan, pasti beres” (sebab sesudah menurut saja selama berpuluh tahun, ternyata nasib tidak membaik); atau ”kebijakan kita secara keseluruhan sebetulnya baik, hanya untuk sebagian kita belum OK” (lha nyatanya, secara persentase orang kelaparan dan kebodohan di Amerika latin semakin banyak dan hutang negara di sana semakin menggunung). Bagaimana ini : ”Apa arti Tuhan memang masih sayang kepada kita”. Lalu apa artinya kalau dikatakan ”Yesus menebus manusia?” Banyak penjelasan dicari oleh teolog untuk menemukan diagonis yang paling tepat dalam konteks Amerika Latin, untuk mengungkapkan bahwa iman kepada Allah yang maha kasih itu juga dalam saat malapetaka ini bukan omong kosong.

2. Komitmen Dasar Akar seluruh sikap yang dipergunakan oleh para teolog dan umat di Amerika Latin adalah iman akan cinta Allah yang menyerahkan PuteraNya sendiri untuk menjadi teman ziarah manusia, menderita berat dan mati hina, kemudiaan dimuliakan serta menguatkan anak buahnya dengan Roh cinta. Mereka percya, bahwa Allah tidak jauh diangkasa, melainkan menjadi satu dengan manusia, betapapun buruk kadaannya. Maka umat tidak perlu dan tidak boleh putus asa. Sikap tidak putus asa itu harus tampak baik dalam hidup pribadi maupun dalam hidup bersama, yaitu terus menerus mencari diagnosis penyakit masyarakat ini dan senantiasa cari obat jalan keluarnya. Jadi akar dan isi theologi semacam ini adalah sikap iman.

3. Sikap iman yang menjelma
Sikap iman tersebut mendorong orang untuk mencari kejelasan tentang seluk beluk penderitaan umat yang mempunyai iman yang sama. Mereka melihat bahwa secara lahiriah menjadi anggota suatu kelompok agama itu belum tentu sama dengan secara nyata beriman. Ada kesenjangan antara iman dan perbuatan. Kecuali itu kadangkala iman memang cukup kuat untuk mendorong orang melakukan beberapa tindakan kebaktian tertentu, tetapi tidak cukup jernih untuk memungkinkan orang memahami kehendak nyata Tuhan di suatu saat, apalagi mencari jalan pelaksanaanya dibidang politik, serta memeluknya dengan sepenuh hati. Jadi ada kesenjangan antara ibadat dan kebaktian dengan praktek iman di lingkup pribadi atau publik. Iman yang hidup merangsang budi. Tetapi harus memperkembangkanya sendiri pemikirannya. Iman harus mendorong pikiran untuk memperjelas seluk beluk dunia pribadi dan dunia sosialnya. Dengan itu budi beriman berpartisipasi pada pembebasan manusia. Untuk itu budi memerlukan banyak sarana agar dapat mengamati aneka seluk beluk masyarakat secara tepat. Metode-metode ini beraneka menurut kemampuan dan asal teolog yang bersangkutan. Dari sinilah terjadinya aneka teologi pembebasan. Sumbangan pemikiran dari dunia psikologi, sosiologi dan lain-lain sangat membantu pengembangan pengabdian budi pada iman. Orang beriman semacam itu akan terus menerus berusaha menjadikan wahyu Allah setiap saat dan situasi berbicara kepada manusia, baik secara verbal maupun melalui tindakan nyata.

4. Aneka Metode
Di kalangan para ahli yang penting seputar teologi pembebasan ada beberapa metode yag sering kali dipergunakan. Ada yang menggali pola berpikir dalam Alkitab, untuk menemukan kemiripan situasi, pemahaman dan penanganan masyarakat sekarang (metode alkitabiah); ada yang mempelajarai ajaran-ajaran Gereja dari abad ke abad untuk dipetik pesannya bagi penyelesaian keruwetan sekarang ini (metode dogamtis); ada yang lebih menggunakan metode filsafat untuk mencari penjelasan atas kehausan rakyat akan pembebasan itu (metode filsafat); ada pula yang menggunakan metode sosiologis; ada pula yang memakai semua itu. Dalam golongan yang memakai pengamatan sosiologis, ada yang meminjam analisis para sosiolog modern, dan dari antara mereka ini ada yang memakai analisis Marx.

C. BEBERAPA PERCOBAAN PENILAIAN
1. Karena ada banyak teologi dan banyak pula teologi-teologi pembebasan, maka diperlukan banyak studi untuk mengetahui dengan jelas aneka aliran didalamnya. Pada hemat kami, justeru demi kejelasan dan kelugasan, perlulah ada usaha-usaha ilmiah dan obyektif untuk memaparkan dengan lugas, aneka pola teologi pembebasan yang ada.

2. Keprihatinan dasar para ahli teologi – teologi pembebasan itu senafas dengan keprihatinan dasar semua umat yang percya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan umat beragama , yang misalnya terungkap dalam kerinduan akan persatuan antara Tuhan dan manusia, kepercayaan bahwa kesejahteraan manusia itu di tangan Tuhan, kebiasaan untuk mencari kehendak Allah (’neges kersaning Allah’), iman tanpa perbuatan itu kosong, iman itu bukan hanya urusan batin melainkan harus kelihatan dalam hidup bersama manusia , keinginan untuk dibebaskan dari segala penderitaan, dan sebagainya.

3. Karena minat pertama para ahli dari teologi–teologi pembebasan itu menjelaskan iman, maka sepantasnya kalau penilaiannya memakai kriteria – kriteria iman. Dan karena iman itu keterlibatan pribadi pada Tuhan yang sangat khas, maka dinamikanya berwarna batiniah serta berkembang menurut hukum–hukum hidup rohani manusia, bukan menurut ketentuan– ketentuan hukum lahiriah dan kemasyarakatan.

4. Usaha untuk menjelaskan ikatan antara iman dan hidup kemasyarakatan tidaklah mudah. Penjelasan yang terlampau dipergampang dapat membawa buah kebalikannya, yaitu orang tidak diyakinkan, bahkan orang dapat menolak. Diperlukan usaha serius dari segala segi untuk itu. Maka perlu didukung usaha keilmuan untuk mencari hubungan sejati antara dunia iman , dunia ilmu dan kemasyarakatan.

5. Metode yang diperlukan untuk usaha terakhir ini harus meneliti segi kemasyarakatan, segi kepribadian, segi keimanan. Untuk itu kita perlu menganggap serius usaha pelbagai ahli peneliti seluk beluk hidup kemasyarakatan, baik dari ilmu sosiologi, psikologi, politik, filsafat, theologi, dan sebagainya. Semua ini memang justru menunjukkan bahwa theologi adalah kegiatan pemikiran manusia yang di dalamnya terkandung keterbatasan – keterbatasan . Karena itu perlu pula dibedakan antara iman, agama dan theologi.

6. Sementara itu dapat saja kita secara sehat dan ilmiah mempertanyakan, sejauh mana metode Marx relevan untuk kita pergunakan . Masyarakat Amerika Latin mewarisi kebudayaan Eropa yang juga melatarbelakangi metode Marx . Bisa secara ilmiah diselidiki , seberapa banyakkah unsur kebudayaan Eropa sekarang ini mewarnai masyarakat kita. Dalam hal itu tidak perlulah kita gegabah mengatakan bahwa kita mempunyai kebudayaan sendiri. Tentu saja kita sebagai bangsa memiliki kebudayaan sendiri . Akan tetapi dapat diteliti, sungguhkah buah – buah kebudayaan Eropa (musik, komoditi, gaya hidup dan lain lain ) benar–benar tidak mewarnai kebudayaan kita. Lalu metode yang kita perlukan untuk mengamati seluk beluk masayarakat kita ?

7. Pimpinan Gereja Katolik di Vatikan telah beberapa kali memeriksa aneka segi teologi–teologi pembebasan. Mereka menyambut baik keprihatinan dasarnya, bahwa iman kepada Yesus Kristus tidak dapat tidak membawa keterlibatan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia dalam segala seginya, bersama dengan semua pemeluk agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Sementara itu dikritiklah usaha beberapa orang yang terlalu mau memutlakkan analisis sosial Marx sedemikian sehingga unsur – unsur atheistisnya mencuat ke depan. Teologi harus tetap teologi, yaitu ilmu iman, maka teologi harus tetap menjunjung tinggi kepercayaan kepada Tuhan. Dengan begitu disambutlah segi baik teologi – teologi pembebasan, dan disiangi pulalah segi – segi buruk daripadanya.

8. Teologi – teologi pembebasan adalah teologi, bukan sosiologi, bukan ilmu politik, bukan strategi pengerahan massa, bukan idiologi dan sebagainya. Maka dari itu, perlu dinilai dan diperlukan serta memperlakukan diri sebagai teologi, yaitu salah satu ilmu dalam rangka penghayatan iman.

9. Andaikata ada orang yang mengambil langkah politis tertentu atas dasar suatu teori tertentu yang katanya dipetik dari teologi – teologi pembebasan, perlulah ucapan itu dinilai : ketepatan dan kebenarannya. Untuk itu suatu pemeriksaan teliti perlu diadakan. Dalam hal itu adat kebiasaan demokratis rasanya memadai untuk secara tenang mengolah percaturan politis, yang seringkali memang membawa perbedaan pendapat. Kadangkala perlulah diperiksa, apakah orang semacam itu sama dengan orang yang karena fanatisme kesukuan menyerang istana seorang Sultan atau karena setengah–setengah memahami ajaran suatu agama lalu meledaklah tangker minyak.

10. Pada dasarnya para ahli teologi pembebasan dan teman – teman pemeluk kristiani menerima prinsip seperti Yesus Kristus , yang menabur benih cinta kasih dimanapun Ia hadir. Maka kekerasan bukanlah pilihan langkah pengikut Yesus Kristus. Maka teologi yang menganjurkan kekerasan sulit menyebut diri teologi kristiani. 


Sumber: Mr.Paul

31 May 2012

BERIMAN, BERAGAMA, DAN TANDA-TANDA JAMAN

.A. PENDAHULUAN
Di tengah kesibukan melayani umat, seharusnya muncul juga pembicaraan yang lebih prinsip mengenai hubungan dasar antara suatu jemaah agama dengan kesibukan masyarakat. Hal itu diperlukan agar pembicaraan tidak jatuh ke dalam oportunisme (menjalankan agama hanya demi keuntungan politik atau pergaulan) atau fanatisme esoterik (menjalankan agama sebegitu fanatik sehingga memandang rendah kelompok/agama lain)




B. AGAMA DAN IMAN
Hampir semua jemaah berpegang teguh pada  sikap dasar bahwa agama diterima dari Tuhan sendiri. Wajar. Terutama kalau agama itu berdasarkan wahyu : pernyataan diri Tuhan sendiri. Orang sebegitu mudah setuju dengan ungkapan di atas, sehingga kerapkali orang mudah jatuh ke dalam ucapan lain, yang nadanya serupa, tetapi sebetulnya dapat tidak tepat, yaitu bahwa sesuatu praktek agama begitu saja disamakan dengan kehendak Tuhan. Pertengkaran intern dalam setiap agama kerap bertumpu pada hal itu, yaitu masing-masing pihak merasa benar secara mutlak karena mengaku mempraktekkan agama secara konsekuen. Peristiwa perpecahan katolik-protestan, mahayana-hinayana dsb. dapat menjadi contoh jelas. Rasanya tidaklah terlalu berlebihan kalau orang perlu berhati-hati agar jangan mudah begitu saja mengidentikan agama (apalagi ajaran seorang tokoh agama) dengan prakteknya. Dalam diskusi populer  hal ini muncul dalam pemaafan seperti “agamanya baik, tetapi oknumnya yang tidak baik”. Artinya : ajaran agama baik tetapi sering dipraktekkan dengan kurang konsekuen. Mungkin situasi itu dapat diperjelas, kalau kita mengembalikan agama pada akarnya. Akar agama adalah iman kepada Tuhan. Iman adalah anugerah ilahi dan karena itu mempunyai nilai mutlak. Hubungan antara iman dengan agama serupa dengan hubungan antara cinta dengan aneka ungkapan cinta. Cinta dapat diungkapkan dengan kartu, surat, bunga, kado, peluk, cium, tindakan seorang suami untuk mencari nafkah dan mengumpulkan uang demi isteri. Tetapi setiap orang yang dewasa mengetahui, bahwa hadiah bunga mawar dapat saja bukan merupakan ungkapan cinta, melainkan kail untuk mendapat hadiah balasan; peluk dan cium dapat saja bukan merupakan tanda cinta melainkan ritus politik agar televisi dapat menunjukkan persahabatan antara dua negara, yang boleh jadi hanya semu saja demi kemenangan langkah perang. Setiap orang bernalar akan merasa tersinggung kalau cintanya hanya diukur dengan jumlah uang  atau cincin yang diserahkan. Sebagaimana mawar, kado, peluk dan cium merupakan ungkapan cinta tetapi tidak identik dengan cinta, begitu pula agama memang dapat menjadi ungkapan iman tetapi tidak selalu identik dengan iman. Atas dasar pemahaman itu, maka iman dapat menjadi nilai mutlk dalam hidup seseorang, tetapi sesuatu praktek agama tidak dapat menjadi se-mutlak iman. Memutlakkan praktek agama tertentu dapat merupakan ketidaksetiaan kepada iman : sebab iman justeru memutlakkan Tuhan sedemikian sehingga di matanya tidak ada sesuatu-hal-lainpun yang mutlak, termasuk praktek agama. Percakapan dalam suatu pertemuan keagamaan biasanya berkisar pada hal-hal yang ”dapat diubah” karena bersifat ”tidak mutlak” seperti praktek agama.

C. ANEKA PRAKTEK AGAMA
Iman tampil dalam hidup seseorang atau jemaah beriman dalam aneka praktek agama. Bila tidak terungkap, iman tidak memanusia : manusianya tidak bisa dikatakan beriman. Maka praktek agama menjadi  bagian tak terhapuskan dari keberimanan. Tetapi praktek keagamaan cenderung dibakukan dalam aneka kebiasaan dan aturan. Praktek agama yang baku dapat menjadi beku tidak terubahkan dari abad ke abad. Kebekuan itu bertentangan dengan daya kreatif yang ditanamkan Tuhan pada manusia. Maka manusia harus selalu mencari perwujudan praktek agama terus menerus dan tidak membiarkan diri beku dalam sesuatu bentuk praktek tertentu.
Iman sebagai iman tidak dapat disaksikan dengan indera, karena merupakan hubungan batin dengan Tuhan. Tetapi tanda-tanda iman, yitu praktek beragama dapat disaksikan dengan indera. Dengan kata lain, praktek agama adalah sarana bagi orang agar dapat memberi kesaksian mengenai imannya.
Aneka praktek agama memang saling berkaitan satu sama lain. Namun, untuk mempertajam pengamatan, dapatlah kita membeda-bedakan beberapa jenis praktek agama.

Ada praktek agama yang terutama menunjukkan betapa orang mempunyai kontak khusus dengan Tuhan (itu kelihatan dalam doa tata ibadat dengan pelbagai caranya).
Ada praktek agama yang terutama memperlihatkan bahwa seseorang merupakan bagian dari suatu persekutuan jemaah ( ini tampak dalam kerukunan antara rekan-rekan se-jemaah).
Ada praktek agama yang terutama mewujudkan cinta konkrit seseorang kepada manusia lain demi imannya (misalnya dalam saling menghibur, saling membantu kebutuhan materi).
Ada praketek agama yang terutama mengungkapkan keyakinan intelektual mengenai kebenaran-kebenaran imannya (ini muncul dalam tulisan, pemikiran dan diskusi mengenai iman).
Idealnya, segi doa dilengkapi dengan segi persekutuan dan diwujudkan dalam saling pelayanan serta dirumuskan secara seimbang dalam ajaran yang kena.
Penegasan adanya aneka jenis praktek agama ini dapat membantu agamawan untuk bersikap rendah ahti (tidak beranggapan bahwa dirinyalah yang paling tinggi mutu keberimanannya, misalnya karena pandai berkotbah, yaitu segi intelektual dari praktek beriman) dan tidak memandang rendah praktek orang lain (yang mungkin tidak pandai berkotbah, tetapi sangat berfungsi dalam menciptakan persatuan). Pemilahan aneka praktek agama ini juga dapat membantu jemaah lebih mudah mengenali kekurangan-kekurangan serta memperbaiki diri secara bertahap dan bagian demi bagian.

D. PRAKTEK AGAMA DAN PENGARUH MASYARAKAT
Bertitik pangkal pada pengakuan bahwa iman itu ilahi sehingga bernilai mutlak, kita telah melihat bahwa praktek agama sendiri tidak mutlak walaupun bersumber pada kemutlakan iman ilahi. Kenisbian praktek agama tidak mengurangi maknanya sebagai sarana memberi kesaksian iman, bahkan menunjukkan bahwa Yang Ilahi sudi memandang dan mengangkat Yang Manusiawi. Dalam praktek agama ada segi ilahi yang mutlak dan segi manusiawi yang nisbi. Kemanusiawian dalam praktek agama mengikuti hukum sosial yang biasa, yaitu dipengaruhi oleh gejolak masyarakat. Begitulah terbentuk ajaran agama yang lebih berbicara mengenai kesuburan apabila iman diwahyukan dalam daerah yang bergumul dengan masalah kesuburan alam (Hindu), sedangkan ajaran yang lebih bernada keras muncul apabila iman diwahyukan di daerah yang gersang (Mesir Kuno). Bentuk praktek beragama bangsa yang paternalistik berbeda dengan bangsa yang maternalistik. Dengan begitu menjadi jelas juga, bahwa bentuk praktek beragama perlu senantiasa diperbaharui kalau suatu jemaah berubah pranata sosialnya : bukan untuk menyangkal keabadian imannya melainkan justeru untuk setia kepada Tuhan yang ternyata dalam keabadianNya sudi memakai sarana-sarana manusiawi yang terbatas dan karena itu perlu terus menerus diperbaharui. Pembaharuan itu terjadi dengan mengingat tanda-tanda jaman.

E. TANDA-TANDA JAMAN INDONESIA
Setiap jaman menunjukkan tanda-tanda tersendiri, yang memberi ciri khas. Ciri khas itu perlu diperhatikan kalau suatu jemaah mau mewujudkan imannya secara wajar. Tanda-tanda jaman Indonesia pada waktu ini dan di masa mendatang perlu diamat-amati lebih teliti kalau jemaah mau beriman dalam kontek Indonesia ini.

1. Rakyat Indonesia diwaktu-waktu yang akan datang semakin berusaha memajukan taraf hidup. Ini akan diserukan oleh pemerintah dan didorong oleh kontak yang lebih luas dengan luar negeri melalui pelbagai bentuk sarana komunikasi. Gerakan tersebut agaknya akan lebih mendesak orang mementingkan ”yang materi”, walaupun secara verbal pemerintah maupun pemimpin formal di masyarakat banyak menyangkal hal itu. Ukuran kemajuan seorang pribadi dan suatu keluarga akan diambil dari banyak/sedikitnya ia/keluarga itu menghasilkan tambahan milik materi. Pemilikan materi akan cenderung menjadi tolok ukur kesajahteraan. Perkembangan politik, pertumbuhan sikap mental dan pembangunan budaya memang sedang diusahakan, tetapi secara struktural hanya menjadi musik pengiring bagi melodi utama di bidang ekonomi. Maka agama ditantang untuk bisa memperlihatkan makna materi yang sejati bagi manusia, bila tidak, ia akan kehilangan pengikut nyata. Di cari ibadat yang tidak bertitik berat pada ucapan verbal, melainkan secara utuh merupakan pancaran hidup : dicari persekutuan jemaah yang bisa menghargai dunia ekonomi - politik tanpa menjadi mata duitan atau haus kuasa, dan tanpa menjadi pion politik. Dicari spiritualitas yang sekaligus dapat menentukan harga materi tanpa menjadi materialistis.

2. Masyarakat Indonesia dimasa mendatang rasanya akan sangat ditandai oleh perjuangan yang ”lebih sengit” guna mencari nafkah. Tambahnya jumlah penududuk akan sebegitu besar, sehingga tempat bekerja akan tidak mencukupi. Pengangguran akan semakin banyak, padahal tingkat pendidikan orang yang menganggur akan semakin tinggi sehingga orang frustasi akan bertambah karena mereka mempunyai pengharapan yang lebih tinggi juga. Hal itu akan membawa akibat, bahwa ketidakpuasan akan semakin luas. Dalam situasi semacam itu, orang dapat saja berpaling kepada politik, ekonomi atau perdagangan dan mencoba menemukan jalan keluar. Tetapi ilmu-ilmu itu akan tetap bekerja pada batas-batas keilmuan mereka sendiri. Agama harus mengatasi keterbatasan politik, ekonomi atau antropologi dengan menawarkan penjelasan makna hidup yang transenden. Namun agama hanya dapat menawarkan penjelasan itu apabila tidak justeru menjatuhkan diri dalam praktek politik, ekonomi dan perdagangan sendiri. Kalau agama mencampuri urusan politik, dengan mudah ia akan tergoda untuk memasukkan prinsip-prinsip politik ke dalam bakti kepada Tuhan (dan karena itu menghojat Tuhan) atau menjadikan hukum agama sebagai hukum gerakan politik (dan dengan begitu dapat merosotkan agama sebagai alat intrik politik). Perlu dikaji kembali apa makna sejati dari praktek beragama khususnya dalam hubungan dengan upaya negara membawa kesejahteraan rakyat. Apakah agama akan memberi hiburan, bahwa sekarang tidak perlu terlalu bersusah payah mencari nafkah karena di surga akan tercukupi? Ataukah agama membuat orang haus harta dan kekuasaan dengan alasan bahwa mempunyai milik itu tanda dicintai Allah? Ataukah agama mendorong orang kreatif menggali alam ciptaan? Dapatkah agama membuat orang miskin merasa rendah diri? Agama ditantang untuk memberi tafsir bijak mengenai materi dan kesejahteraan materi tanpa menjadikan dirinya budak dunia ekonomi atau sekadar sarana legitimasi langkah politik murahan. Tetapi kalau kelompok agama tertentu mengidentifikasikan diri dengan kelompok politik tertentu, mudah sekali ia dipandang sebagai corong legitimasi politis dan karena itu membuat dirinya tidak percaya kalau menyuarakan pesan moral dan religius. Dicari pola pelayanan kemasyarakatan yang sekaligus memperhatikan dunia politik tanpa menjadi bawahan politik.

3.Perkembangan kemakmuran rakyat akan membuka mata banyak orang akan kemampuan manusia dan potensi alam (termasuk otak manusia) yang tak terperi. Situasi itu akan memaksa orang untuk mengkaji kembali aneka penjelasan makna hidup yang pernah diberikan oleh agama. Agama manapun akan harus berhadapan dengan tuntutan guna memberikan penjelasan-penjelasan transenden mengenai peristiwa-peristiwa dunia: memang dengan memperhitungkan hukum-hukum alam namun tanpa terjebak dalam keterbatasan hukum alam itu karena diberi nafas ilahi. Untuk itu, penjelasan-penjelasan yang asal mengutip catatan-catatan religius  lama tidak lagi akan memadai dalam taraf pengertian terdalam. Bila penjelasan tidak menembus argumen terdalam, maka ada bahaya besar bahwa atau  orang mempunyai dua bentuk hidup (satu di dalam ibadah dan satunya dalam hidup sehari-hari) atau orang tidak akan mengambil serius agama. Lalu sekularisme, entah kita sukai atau tidak, entah dilarang secara politis atau tidak, akan diam-diam menggeroggoti hidup umat. Dicari penjelasan tentang hubungan iman dengan ilmu, yang benar kokoh dan dapat dihayati.

4. Pada masa-masa mendatang, rakyat kita akan semakin diombang-ambingkan oleh di satu pihak kecenderungan untuk bersatu dan di lain pihak perbedaan paham yamg muncul dari kemajuan ilmu yang makin tinggi sehingga harus diselesaikan secara rasional. Bersama dengan seluruh dunia, rakyat kita tidak akan percaya lagi akan pengkotak-kotakan ideologis dan pemecah-pecahan antar agama serta pembeda-bedaan rasial. Kecenderungan persatuan semesta akan menguat. Tetapi bersamaan dengan itu, semakin menguat jugalah keinginan untuk mengungkapkan diri secara otentik : hal itu akan membawa semakin banyaknya perbedaan faham dan tuntutan untuk menyelesaikan perbedaan faham memakai argumen yang dapat diterima akal dan tidak otoriter. Agama ditantang untuk menjelaskan posisinya : di satu pihak menerima harga diri manusia yang semakin berkembang daya pikirnya dan menerima otoritas ilahi yang sudi berkontak dengan makhluk berotak ini, dilain pihak menemukan mekanisme komunikasi kebenaran yang sekaligus menghargai cipta-rasa-karsa-karya seraya menerima kehadiran Nan Transenden dalam dunia manusia. Diperlukan kewibawaan religius yang cerdas, mengenal argumen ilmu-ilmu manusiawi dan bertaqwa serta mampu men-share-kan ketaqwaan itu kepada umat lain dengan persuasif. Dicari persatuan keagamaan yang akrab dan efektif, yang dipimpin kewibawaan yang jelas dan ramah.

SUMBER: Pertemuan GAK Regio Sulawesi dan Kalimantan thn 2010

SEJARAH DAYAK
Banyak teori/ pendapat tentang asal-usul orang Dayak. pendapat yang diterima umum menyatakan bahwa orang.....   »»»»

MANGKOK MERAH
Di bawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang sampai saat ini masih terpelihara, dan dalam dunia supranatural Suku.....   »»»»

PANGLIMA BURUNG
Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa.......   »»»»
KOTAK CHATTING

ShoutMix chat widget

Copyright © 2009 by Widi Agung "Tekek" Nugroho

Template by Blog Templste 4 U | Edited By Free Download