Faith - Hope - Love

16 November 2009

Paham Hidup Kekal Suku Dayak Taman

A. Pengantar

Bagi manusia yang masih hidup di dunia ini, kematian adalah sebuah misteri yang menyimpan berbagai macam pertanyaan. Aneka pertanyaan muncul ketika manusia menyaksikan fakta kematian yang dialami oleh orang-orang di sekitarnya. Apakah makna hidup di dunia ini berhadapan dengan fakta kematian? Apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa kematian? Apakah yang akan dialami oleh manusia setelah kematiannya? Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan ini, muncullah berbagai macam pandangan dan kepercayaan yang berupaya untuk menjawab. Pandangan dan kepercayaan di seputar fakta kematian atau hidup setelah kematian ini terdapat dalam berbagai macam komunitas manusia dengan agama atau pun suku tertentu.
Di Indonesia, pemahaman tentang hidup setelah kematian sudah terdapat dalam berbagai macam komunitas masyarakat suku. Suku Daya yang terdiri dari ratusan sub suku pun memiliki kekayaan paham atau kepercayaan tentang hal itu. Daya Taman adalah salah satu dari 100 lebih suku Daya di Kalimantan Barat yang akan penulis soroti --melalui tulisan kecil ini-- dalam rangka menilik, menggali sistem kepercayaan mereka yang terkait dengan pemahaman tentang hidup setelah kematian, tentang surga, dan tentang neraka. Paparan tentang kisah penciptaan manusia pertama kiranya dapat membantu kita memperoleh sedikit gambaran itu. Sedikit akan dibahas pula mengenai kesejajaran beberapa gagasan dalam kepercayaan Suku Daya Taman dengan pandangan yang terdapat dalam Gereja Katolik.

B. Suku Daya Taman dan Pandangannya tentang Perjalanan Hidup Manusia

Suku Daya Taman merupakan salah satu dari 100 lebih Suku Daya yang terdapat di Kalimantan Barat. Mereka bermukim di Kapuas Hulu, tersebar di beberapa aliran sungai yang meliputi Sungai Siban, Kapuas, Mendalam, Embaloh, Leboyan, dan Kalis. Berladang adalah mata pencaharian utama mereka selain juga berkebun karet, kopi, dan lada. Karena itu, untuk bisa berladang, hutan adat adalah bagian penting dari hidup mereka karena dari hutan inilah mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga sehari-hari.
Hutan adat diakui sebagai hak milik bersama yang harus secara bersama pula dijaga kelestariannya. Dalam konteks kehidupan bersama itu pula adat dan hukum adat diperlukan untuk menciptakan tata kehidupan yang tertip, teratur, harmonis. Dapat dikatakan bahwa semua aspek kehidupan masyaratat Daya Taman diatur melalui adat dan hukum adat. Adat dan hukum adat ini memperoleh dasarnya dari kepercayaan dan mitos yang hidup dan diyakini komunitas Daya Taman. Mitos dan kepercayaan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Daya Taman itu terangkum dalam kisah penciptaan manusia pertama. Dari kisah ini pula kita dapat menilik pandangan Suku Daya Taman terkait dengan hidup setelah kematian.

1. Kisah Penciptaan

Dikisahkan bahwa pada mulanya “Alaatala” menciptakan langit, bumi, beserta isinya. Setelah langit dan bumi beserta isinya tercipta, Alaatala memberi kuasa kepada “Sampulo” (utusan Alaatala) untuk membuat manusia sesuai dengan gambaran diri pribadi Sampulo sendiri serta sekaligus mengajar manusia untuk hidup. Untuk tugas yang diberikan Alaatala kepadanya, Sampulo membutuhkan teman. Karena itu, ditorehnyalah tangannya hingga berdarah. Darah itu dikibaskan sehingga muncul laki-laki tampan bernama Kunyanyik yang kemudian dianggap sebagai suami Sampulo. Mereka berdua amat dihormati oleh orang Taman. Karena rasa hormat dan sayang, orang Taman menyebut mereka sebagai “piang” (nenek) Sampulo dan “ba’i” (kakek) Kunyanyik.

Lalu, turunlah Sampulo dan Kunyanyik ke bumi di suatu taman indah penuh dengan aneka macam bunga dan buah-buahan. Di taman ini mereka membuat pasangan manusia pertama laki-laki dan perempuan. Prosesnya adalah sebagai berikut.

Awalnya Sampulo dan Kunyanyik membuat manusia laki-laki dari batu hitam. Nafas dan “sumangat” (=jiwa) ditiupkan melalui ubun-ubun sehingga manusia itu menjadi hidup. Setelah diuji, yaitu dengan menyuruhnya berenang, tenggelam dan matilah manusia itu karena terbuat dari batu. Tetapi, jiwa manusia itu tetap hidup dan menjelma menjadi ikan “dat”. Kegagalan ini tak membuat Sampulo dan Kunyanyik putus asa. Sebaliknya, mereka kian bersemangat untuk berusaha lagi. Kali ini mereka menggunakan batang kayu. Setelah dihembusi nafas dan jiwa, hiduplah manusia itu. Tapi, setelah diuji dengan melukai tubuhnya, darah mengucur tak dapat berhenti sehingga manusia itu mati.

Kegagalan kedua ini menantang mereka mencoba untuk yang ketiga kalinya. Kali ini mereka menggunakan bahan tanah liat berwarna kuning. Kembali, nafas dan jiwa dihembuskan kepada manusia itu melalui ubun-ubunnya. Setelah manusia itu hidup, Sampulo dan Kunyanyik segera mengujinya untuk memastikan bahwa manusia itu telah sempurna secara fisik dan rohani sesuai dengan kehendak Alaatala. Pertama-tama manusia itu disuruh berenang dan tidak tenggelam. Lalu, dilukailah dia. Namun, tak lama kemudian, lukanya sembuh. Maka, berhasillah mereka membuat manusia pertama laki-laki yang tampan parasnya. Mereka menamainya “Idi Ilangilang Suan” yang berarti langit yang begitu berkilauan.

Setalah berhasil membuat manusia pertama laki-laki, Sampulo dan Kunyanyik membuat juga manusia perempuan yang lalu diberi nama Tinak. Orang Taman memanggilnya “Piang Tinak Tu Jolo” yang berarti Tinak nenek pertama umat manusia. Mereka berdua lantas kawin agar mendapatkan banyak keturunan. Kepada pasangan manusia pertama ini Sampulo memberikan bibit sayur-sayuran dan buah-buahan untuk ditanam sebagai sumber makanan.

Tak hanya berhenti pada menciptakan manusia dan memberikan bibit makanan, Sampulo juga mengajarkan adat “tio’”, yaitu pengetahuan tentang bagaimana seharusnya hidup dijalani oleh manusia selama di bumi dan setelah meninggal yang meliputi bagaima berladang, bercocok tanam, berburu, membuat pakaian dan rumah, juga pengetahuan tentang kehidupan kekal sumangat setelah manusia meninggal dunia. Setelah menjalankan tugas ini, kembalilah Sampulo dan Kunyanyik ke langit pada lapisan kedelapan.

2. Tentang Kehidupan Kekal

Menyimak kisah penciptaan manusia pertama, kita dapat temukan bahwa pengetahuan tentang kehidupan kekal dipahami sebagai pengetahuan yang diajarkan oleh Sampulo. Menurut yang diajarkan Sampulo, kehidupan kekal memiliki dua bentuk.Pertama, tempat kebahagiaan abadi penuh sukacita dalam ruang indah gemerlapan atau biasa disebut “banua so’soak” (tempat penuh sukacita). Orang Daya Taman memberi julukan ‘soo sipantar soo sijait ale’kasa inju tapulung, soak maso malam, yang artinya rumah panjang sambung menyambung dengan tikar tidak pernah digulung dan selalu ramai siang dan malam penuh kebahagiaan sepanjang masa. Tempat ini diperuntukkan bagi sumangat seseorang yang pada masa hidupnya memiliki perilaku yang baik, misalnya suka bersahabat, baik pada orang dengan suka membantu, bicara sopan, tak suka bohong, hormat pada yang tua, menghargai yang muda, mau mengalah. Kedua, adalah tempat kesengsaraan abadi penuh pertengkaran dan perkelahian dalam ruang yang kotor. Tempat ini biasa disebut sebagai “banua ti’asu” (tempat penuh kotoran anjing). Tempat ini diperuntukkan bagi sumangat dari orang yang memiliki perilaku yang jahat, kebalikan dari perilaku orang baik.

Dua bentuk kehidupan kekal yang akan dialami oleh sumangat orang yang sudah meninggal ini terdapat di langit paling atas. Setelah manusia meninggal, sebelum masuk dalam kehidupan kekal, sumangat manusia mengalami perjalanan melewati banyak tempat yang di dalamnya sumangat diuji kemampuannya. Ujian-ujian ini untuk mengetahui apakah selama masih hidup di dunia orang itu termasuk orang baik atau buruk. Di akhir perjalanan melewati banyak tempat ujian, sumangat akan bertemu dengan Iyangsuka. Iyangsuka adalah makhluk ciptaan Alaatala yang bersifat roh serupa dengan manusia. Dia adalah hakim yang adil, jadi memiliki kuasa untuk mengadili dan menempatkan sumangat ke salah satu tempat tinggal abadi. Atau ke banua so’soak atau ke banua ti’asu.


3. Perjalanan Sumangat Sebelum Memasuki Kehidupan Kekal
Beberapa tempat harus disinggahi oleh sumangat manusia yang telah meninggal sebelum diadili dan menempati salah satu tempat kehidupan kekal. Berikut ini adalah perjalanan sumangat melewati beberapa tempat tersebut.

Tempat pertama bernama Tingkado’an sumangat tu mate, yaitu tempat sumangat orang meninggal melompat dari perahunya, yaitu petinya sendiri, untuk memulai perjalanan awalnya sebelum bertemu “Iyangsuka”, sang hakim yang adil. Maka dimulailah perjalanan melewati dalan tu mate (jalan orang meninggal). Dari sini sumangat akan menemukan danau Kambungain. Danau ini dihuni buaya putih yang ganas. Sumangat orang yang semasa hidupnya jahat akan mengalami ketakutan ketika menyeberangi danau ini. Namun, tidak demikian halnya untuk sumangat orang yang baik hidupnya di dunia. Di ujung penyeberangan, sampailah di tempat Paembangembangan-Pana’napisan. Disebut demikian karena di tempat ini banyak tanaman bernama Embang-embang dan Tapis. Buah dari tanaman ini dapat dimakan untuk menahan haus dan lapar. Setelah berjalan lagi sumangat akan bertemu Batang Sapali, yaitu sebuah gelondongan kayu yang merintangi jalan. Batang kayu ini akan mengecil jika yang lewat adalah sumangat orang baik dan sebaliknya akan membesar jika yang lewat sumangat orang jahat. Setelah Batang Sapali terlewati, sumangat berjalan menuju puncak Bukit Tilung yang dari sini dimulai suatu perjalanan menuju ke langit untuk menemui Iyangsuka.

Tempat yang harus dilewati setelah berangkat dari puncak Bukit Tilung adalah Dom Sampung (dom = gelap, sampung = sementara), yaitu tempat yang gelap gulita. Karena itu, sumangat harus memakai tando (suluh) untuk melewatinya. Tando ini berupa cincin dari tembaga yang dipakaikan pada jari telunjuk tangan kanan orang yang meninggal. Sumangat orang yang baik akan dengan mudah melewati tempat ini lantaran tando yang dipakai dapat bersinar terang sementara sumangat orang jahat akan sulit keluar karena tando yang dipakainya tak dapat bersinar dengan terang. Setelah berhasil keluar dari Dom Sampung, sumangat singgah di Pondo’an Bunga, yaitu suatu taman yang penuh dengan berbagai jenis bunga yang indah dan harum baunya. Di tempat ini sumangat akan disambut oleh sumangat orang-orang yang telah lebih dulu meninggal sambil menikmati keharuman bunga-bungaan. Dari taman bunga sumangat menuju tempat tinggal piang Parukruk Ulu, yaitu seorang nenek tua yang kerja setiap harinya menanam berbagai tanaman seperti tebu, keladi, ubi kayu untuk memberi makan setiap sumangat yang lewat.

Persinggahan berikutnya adalah tempat tinggal piang Sinsiung Amas, yaitu seorang nenek pemilik kebun yang di dalamnya terdapat pohon sangalang. Pohon ini memiliki buah kematian kekal, yang jika dimakan, sumangat tidak akan dapat hidup kembali. Jika sumangat tidak memakannya, dia ada kemungkinan untuk hidup kembali. Yang menentukan layak tidaknya sumangat melanjutkan perjalanan menghadap Iyangsuka adalah piang Sinsiung Amas. Ada jalan bercabang dua di tempat nenek ini. Piang Sinsiung Amas akan menyarankan sumangat melewati cabang kanan yang bernama dalan tu tio’ balik (jalan bagi sumangat orang yang belum saatnya menghadap Iyangsuka) jika menurut pertimbangannya sumangat harus kembali (berarti harus hidup lagi) . Karena kepercayaan ini, orang Daya Taman selalu menyemayamkan mayat orang yang sudah meninggal sekurang-kurangnya tiga hari dua malam. Berkaitan dengan kepercayaan ini pula terdapat cerita tentang Sulingbunyo dan Bungaelo (tokoh utama dalam cerita) yang di dalamnya berkisah tentang Sulingbunyo yang setelah mati dapat hidup kembali. Sementara, jalan cabang kiri yang disebut dalan tu mate lalo diperuntukkan bagi sumangat orang-orang yang tak mungkin hidup lagi dan telah makan buah kematian kekal. Dari jalan cabang kiri sumangat melanjutkan perjalanannya dan sampailah ke Palelentean Uwe Sa, yaitu suatu titian dari seutas rotan, yang membentang antara dua buah tebing. Di antara tebing ini ada jurang dalam yang di dalamnya terdapat tonggak-tonggak besi runcing. Titian ini akan bergoyang keras jika yang melewatinya adalah sumangat orang jahat, sehingga dia akan merasa ketakutan. Namun, jika yang lewat adalah sumangat orang baik maka titian tidak akan bergoyang sehingga sumangat dapat berjalan dengan tenang.

Akhirnya, sumangat sampai di rumah panjang Soo di mana Iyangsuka tinggal. Oleh Iyangsuka sumangat dijamu dengan makan dan minum bersama sumangat orang-orang yang sudah meninggal yang lain. Mereka semua dapat minum sepuasnya dalam suasana yang gembira. Di tempat ini pulalah Iyangsuka melaksanakan pengadilan terhadap sumangat, yaitu dengan menyuruh sumangat mengambil tabung yang berisi riwayat hidupnya selama di dunia. Jika tabung itu pecah dan menyemburkan api maka itu berarti yang bersangkutan adalah orang yang pada masa hidupnya berlaku jahat. Kalau tabungnya tidak pecah dan dari tabung itu menetes darah maka yang bersangkutan adalah orang yang baik di masa hidupnya serta berani melawan dan mengalahkan musuh/penjahat pun juga binatang buas yang menyerang. Orang baik akan dimasukkan ke Banua So’soak dan orang jahat dimasukkan ke Banua Ti’asu.

C. Beberapa Gagasan tentang Hidup Setelah Kematian Menurut Suku Daya Taman dan Pandangan Gereja Katolik

Bagian ini mau mencoba menilik beberapa gagasan tentang hidup setelah kematian menurut suku Daya Taman yang paralel dengan pandangan Gereja Katolik. Dengan paralel dimaksudkan memiliki kesejajaran dan bukan persamaan. Jadi, jelas bahwa kedua pandangan itu berbeda. Salah satu perbedaan mendasar yang dapat diangkat, misalnya dalam komunitas masyarakat adat Daya Taman, rangkaian peristiwa dan kejadian yang termuat dalam kisah penciptaan dipercaya dan diyakini sebagai peristiwa historis / sejarah. Dengan demikian, pandangan Daya Taman tentang hidup setelah kematian bersifat materialis. Tentu, tidak demikianlah cara Gereja Katolik memandang. Hidup setelah kematian Gereja Katolik pandang sebagai hal yang tak dapat secara tuntas dimengerti dengan berpangkal pada hidup manusia di dunia ini. Maka, segala macam penjelasan yang dikemukakan mengenainya pada dasarnya bersifat bahasa kiasan. Meski demikian, dalam beberapa hal kemiripan pun tak dapat disangkal.

Tentulah tulisan kecil ini kurang memungkinkan untuk sebuah pembahasan yang lebih luas dan mendalam tentang kekayaan gagasan yang dapat dipetik dari sistem kepercayaan Daya Taman. Karena itu, penulis membatasi diri mengangkat sekelumit gagasan saja di seputar situasi jiwa (sumangat) setelah kematian manusia yang memiliki kemiripan, kesejajaran dengan pandangan Gereja Katolik.

Pertama, menarik bahwa bertolak dari kisah penciptaan itu muncul pandangan tentang jiwa manusia yang setelah kematiannya tidak turut binasa melainkan masih menjalani suatu “perjalanan”. Pandangan Gereja Katolik melalui Kongregasi untuk Ajaran Iman, pada tahun 1979, menegaskan bahwa sesudah kematian, unsur rohani (=jiwa) dalam manusia terus hidup sendiri, dengan sadar dan berkemauan, sehingga diri manusia, biarpun tidak lengkap karena tidak ada tubuh, berada terus . Kematian dengan demikian tidak dipahami sebagai perhentian dalam arti jiwa manusia musnah / lenyap.

Kedua, Orang Daya Taman percaya akan dua tempat yang menjadi tujuan terakhir perjalanan jiwa (sumangat) dari orang yang meninggal, yaitu Banua So’soak dan Banua Ti’asu. Banua So’soak adalah tempat penuh sukacita abadi berupa ruang indah gemerlapan yang diperuntukkan bagi sumangat manusia yang semasa hidupnya memiliki perilaku yang baik. Sedangkan Banua Ti’asu adalah tempat kesengsaraan abadi penuh pertengkaran dan perkelahian dalam ruang yang dipenuhi dengan kotoran anjing. Ada pula perjalanan panjang penuh dengan aneka ujian yang harus dilalui sumangat manusia sebelum memasuki salah satu tempat tersebut. Juga, diyakini pula figur berupa roh ciptaan Alaatala yang berperan sebagai hakim yang adil, bernama Iyangsuka. Gagasan seperti ini mirip dengan gagasan Gereja Katolik tentang surga, neraka, dan api penyucian.

Mirip dengan kebahagiaan abadi --yang secara materialis diyakini terdapat dalam Banua So’soak--, surga dalam pandangan Gereja Katolik dilukiskan sebagai kondisi persatuan sempurna manusia dengan Allah, sebuah keadaan manusia memandang Allah dari muka ke muka dan dalam cinta yang sempurna. Persatuan sempurna inilah yang menciptakan kebahagiaan abadi yang tak terlukiskan oleh akal pikiran manusia. Paulus, dalam 1 Kor 2:9 menggambarkan kondisi itu sebagai “apa yang tidak pernah dilihat mata dan tidak pernah didengar oleh telinga dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua itu desediakan Allah untuk mereka yang mengasihi-Nya”.

Sementara Gagasan neraka yang mirip dengan gagasan mengenai Banua Ti’asu dilukiskan sebagai keadaan, kondisi keterpisahan dengan Allah. Kondisi ini adalah lawan dari surga, yang berarti suatu keadaan tidak boleh melihat Allah selama-lamanya. Keadaan yang demikian amat menyiksa lantaran manusia pada dasarnya selalu dan harus terarah kepada Allah untuk kepenuhannya. Keadaan ini diakibatkan oleh penolakan total manusia terhadap Allah .

Ketiga, gagasan api penyucian yang digambarkan Gereja Katolik sebagai keadaan bagi pemurnian terakhir pada perjalanan menuju Allah. Pemurnian ini adalah persiapan sebelum masuk surga. Perlunya pemurnian mengingat keadaan orang yang sudah beriman dan memiliki rahmat namun belum sepenuhnya dibenarkan 100 % . Gagasan seperti ini tampaknya memiliki kemiripan dengan rentang perjalanan yang harus dilalui sumangat sebelum mamasuki salah satu tempat kehidupan kekal. Dalam rentang perjalanan itu, aneka ujian harus dilalui dengan menyinggahi beberapa tempat persinggahan sumangat.

Keempat, dapat kita ketemukan pula dalam kepercayaan orang Daya Taman gagasan tentang pengadilaan terakhir yang dilaksanakan Iyangsuka untuk menentukan apakah sumangat layak memasuki Banua So’soak atau sebaliknya harus masuk ke dalam Banua Ti’asu. Tentang pengadilan ini Gereja Katolik memahaminya sebagai penampakan dari semua manusia dalam keadaan yang sesungguhnya. Pengadilan berarti konfrontasi dengan Allah yang tidak dapat ditipu . Pewartaan dan tindakan Yesus dalam hal ini menjadi kriteria untuk mengetahui sikap-sikap etis tentang perbuatan yang baik atau buruk. Penjelasan ini menerangkan pandangan Gereja Katolik bahwa Yesus Kristus adalah hakim untuk orang hidup dan yang mati sebagaimana dikatakan oleh Paulus, “Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya sesuai dengan apa yang dilakukan dalam hidup ini, baik atau pun jahat.” (2 Kor 2:10).

D. Penutup

Hidup manusia adalah sebuah “perjalanan”. Perjalanan ini dilalui manusia ketika masih berada di dunia maupun setelah kematiannya. Gagasan semacam ini dapat kita tarik dari kepercayaan suku Daya Taman tentang perjalanan hidup manusia. Bertolak dari sana orang Daya Taman memandang bahwa, di dunia ini, orang punya kewajiban untuk hidup baik sesuai dengan yang dikehendaki oleh Alaatala dan telah diajarkan olah Sampulo. Kewajiban ini didasarkan pada pengharapan akan kehidupan kekal yang diyakini sebagai tujuan akhir perjalanan sumangat manusia. Orang yang hidup baik akan ditempatkan di Banua So’soak dan orang yang tingkah lakunya jahat selama di dunia akan ditempatkan di Banua Ti’asu.

Sedikit paparan di seputar kehidupan kekal, hidup setelah mati yang diyakini suku Daya Taman telah terurai dalam tulisan sederhana ini. Sedikit tersaji pula gagasan dalam Gereja Katolik tentang hidup setelah kematian yang memiliki kesejajaran dengan pandangan Daya Taman. Ini merupakan usaha kecil yang bisa menjadi langkah awal untuk sebuah kajian dan bahasan yang lebih mendalam lagi. Usaha semacam ini penting dalam rangka pewartaan kabar gembira kristiani yang inkulturatif di tengah budaya-budaya khususnya di tengah budaya Daya Taman. Dengan inkulturasi, diperoleh integrasi pengalaman kristen dari Gereja lokal ke dalam kebudayaan umatnya sedemikian rupa sehingga pengalaman ini tidak hanya menyatakan dirinya dalam unsur-unsur kebudayaan tersebut, tetapi menjadi suatu kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, serta membaharui kebudayaan tersebut sampai menciptakan suatu kesatuan dan persekutuan baru, tidak hanya dalam kebudayaan tersebut tetapi juga sebagai pengajaran Gereja Universal .
Akhirnya, semoga usaha yang terpapar dalam paper sederhana ini dapat memberikan masukan yang berguna dan berharga bagi pembaca.

Sumber:
1. Koncoku Alb. Bowo Sungkowo
2. Iman katolik, Informasi dan Referensi
3. Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan
4. Iman dan Transformasi Budaya
5. Mitos Kejadian Manusia Pada Masyarakat Daya Taman,
6. Teologi Eskatologi,

Comments :

0 komentar to “Paham Hidup Kekal Suku Dayak Taman”

Post a Comment

Copyright © 2009 by Widi Agung "Tekek" Nugroho

Template by Blog Templste 4 U | Edited By Free Download