Faith - Hope - Love

09 February 2009

Berdialog dengan Agama Kristen Protestan

Nama Protestan berasal dari kata Protestaio (latin) yang berarti “sanggahan” yang diajukan oleh para bangsawan pengikut gerakan Reformasi kepada Dewan Kekaisaran Jerman di Speyer (1529). Mereka mengajukan “protes” terhadap keputusan Dewan, yang menyerahkan boleh/tidaknya memperkenalkan ajaran baru Martin Luther, kepada konsili yang diadakan dengan segera. Lalu pemakaian kata “Protestan” mencakup umat-umat Kristen yang menerima tata iman, ibadat, dan kebiasaan yang berdasarkan prinsip-prinsip Reformasi abad ke-16. Api Gerakan Reformasi ini disulut oleh protes dari Martin Luther, mantan biarawan Agustian, dengan 95 dalilnya yang ia pajang di gerbang gereja Wittenberg pada 1 November 1517.
Semenjak Gereja terpecah, tampak beberapa perbedaan mencolok. Perbedaan ini mencakup terhadap Gereja dan terhadap iman. Sikap ini tidak hanya menyangkut perbedaan tentang beberapa ajaran dan kebiasaan, melainkan sikap yang mulai muncul bersama aneka aliran dan gerakan sebelum abad ke-16. Oleh karena itu, sulit menunjukkan suatu “prinsip” atau “kebenaran fundamental” yang membedakan dan akhirnya memisahkan kedua kelompok Kristen dan kemudian melahirkan perbedaan-perbedaan lain.

A. Perpecahan Gereja

1. Gereja Lutheran
Kedaaan Gereja Abad XVI sangat jelek. Gereja terlibat dalam banyak urusan duniawi. Paus menjadi sangat berkuasa dan memegang supremasi, baik dalam urusan Gereja maupun kenegaraan. Sementara itu terjadi juga pemilihan Paus yang tidak pantas seperti Paus Alekander VI dan Leo IX. Sering terjadi korupsi dan komersialisasi jabaran Gereja. Banyak pejabat Gereja menjadi pangeran duniawi dan melalaikan tugas rohani mereka, sehingga imam-imam tidak terdidik, hidup dengan istri gelap, sering kali bodoh, tidak mampu berkotbah, dan tidak mampu mengajar umat. Keadaan semacam ini terjadi dalam kurun waktu yang lama. Teologi skolastik menjadi mandul dan masalah dogmatis dianggap sebagai perdebatan tentang hal sepele antara aneka aliran teologis. Banyak persolan teologi mengambang tidak pasti. Banyak kebiasaan umat yang tidak seragam. Iman bercampur takhayul, kesalehan bercampur dengan kepentingan duniawi. Agama sering merupkan rutin sosial sehari-hari, yang profan dan yang suci bercampur aduk.
Dalam situasi seperti itu, banyak orang yang bermaksud untuk memperbarui hidup Gereja, namun tidak ditanggapi. Kemudian, tampillah Martin Luther. Luther mula-mula menyerang masalah penjualan indulgensi, kemudian ia membela beberapa pandangan baru, khususnya ajaran tentang “pembenaran hanya karena iman”. Luther menyerang wewenang Paus dan menolak beberapa ajaran teologi sebelumnya dengan bertumpu hanya pada Alkitab sesuai dengan tafsiran sendiri.
Luther semula tidak menginginkan perpecahan. Ia ingin mempelopori pembaharuan. Tetapi ia terseret oleh arus yang disebabkan oleh rasa tidak puas yang umum dalam umat yang mendambakan pembaruhan yang betuknya kurang jelas. Ajaran teolog-teolog yang mendukung perbuatan saleh, kini diragukan Luther. Indulgensi, stipendia untuk Misa Arwah, sumbangan untuk membangun Gereja bersama dengan patung-patung yang menghiasinya, pajak untuk Roma, ziarah dan puasa, relikui dan kaul-kaul, semua tidak ditemukan dalam Kitab Suci, maka ditolak oleh Luther. Luther menegaskan bahwa semua tidak bermanfaat oleh keselamatan.
Iman sudah cukup untuk menjamin keselamatan, maka tujuh sakramen ataupun hidup membiara tidak berguna. Semuanya buatan paus saja untuk mengejar kuasa dan untung. Maka imam, biarawan/wati berbondong-bondong meninggalkan biara mereka masing-masing.
Luther didukung oleh banyak kelompok dengan alasan yang berbeda-beda, misalnya para bangsawan yang mengingini milik biara, warga kota yang mendambakan kebebasan berpikir, para petani yang ingin lepas dari kerja rodi dan pajak, para nasionalis yang membenci prilvilige Roma, para humanis yang ingin membuang kungkungan teologi skolastik, pemerintah-pemerintah kota kerajaan yang ingin mencium kesepatan memperuas wewenang mereka di kota. Malah Luther tampil sebagai pahlawan. Mereka mengira akhirnya pembaharuan sungguh-sungguh dimulai juga. Mula-mula Roma kurang menyadari apa yang terjadi, kemudian bereaksi salah, sehingga tidak mampu mengarahkan lagi.
Banyak hal baru dimulai, namun tidak jarang merupakan perusakan yang lama saja. Bukan reformasi Gereja yang lama. Tetapi, orang sudah menunggu terlalu lama, mereka tidak sabar lagi. Maka, ekskomunikasi Luther oleh Paus (1520) dan pengucilan oleh Kaisar (1523) tidak dapat membendung gerakan ini lagi. Rima tidak memahami reaksi dahsyat di Jerman ini dan masih bertindak seperti abad-abad sebelumnya. Luther lalu menyerang umat yang setia kepada Paus. Tuntutannya semakin radikal, persatuan Gereja tidak dicari lagi bahkan diboikot. Para bangsawan tidak tertarik lagi pada persatuan kembali, karena antara lain milik gerejani yang mereka rampas tidak mau mereka kembalikan. Unsur keagamaan, politis, dan pribadi di kedua belah pihak menyulitkan persatuan kembali. Reformasi selesai; umat terpecah belah ke dalam kelompok Katolik, Lutheran, Kalvinis, Anglikan dan sebagainya

2. Gereja Kalvinis
Tokoh reformasi lain adalah John Calvin (1509-1564). Tokoh ini tidak jauh berbeda dengan Luther. Ia ingin membaharui Gereja dalam terang Injil. Karena dibesarkan dalam lingkungan Katolik dan tidak berani mengadakan pemisahan yang sepenuhnya dengan Katolik, maka Calvin seperti juga bapa Reformasi yang lain, hanya melakukan Reformasi. Artinya, mereka melihat Katolik sebagai Gereja yang sebenarnya, tetapi yang telah salah jalan dan perlu reformasi. Yang salah hanya pemimpin pada saat itu bukan doktrinnya
Barulah pada 4 Mei 1534, Calvin mengundurksan diri dari posisi dan gaji bulanan yang ia terima dari katedral di Noyon. Pada tahun 1536, Calvin menyelesaikan dan menerbitkan edisi pertama dari Institutio. Ini baru dua tahun setelah ia resmi keluar dari Katolik. Dalam perjalannya mencari tempat yang aman, ia akhirnya tiba di Jenewa. Ia memang pernah diusir dari Jenewa pada tahun 1538 karena ia dan temannya Gaullame Farel mencoba menerapkan sistem disiplin yang terlalu ketat bagi kota itu. Namun pada tahun 1541 Jenewa menerima Calvin kembali. Sejak saat itu, Calvin bekerja terus di Jenewa hingga kematiannya 23 tahun kemudian, pada tahun 1564. Kepemerintahan Calvin di Jenewa adalah pemerintahan yang bertangan besi. Calvin menggabungkan Gereja dan Negara di Jenewa, membentuk sebuah Theokrasi. Segala jenis dosa dijadikan oleh Calvin sebagai pelanggaran terhadap hukum Jenewa. Orang yang tidak datang kebaktian, dihukum, yang berbicara atau yang bermain-main dalam kebaktian juga dihukum, bahkan orang yang salah memotong rambut orang dengan kurang sopan juga dikenai hukuman.
Dalam bukunya yang berjudul “Institutio Christiane Religionis” menggambarkan Gereja dalam dua dimensi, yakni sebagai persekutuan orang-orang terpilih sejak awal dunia yang hanya dikenal oleh Allah dan Gereja sebagai kumpulan mereka yang dalam keterbatasan di dunia mengaku diri sebagai penganut-penganut Kristus dengan ciri-ciri pewartaan Injil dan pelayanan sakramen-sakramen. Pengaturan Gereja ditentukan oleh stuktur empat jabaran, yakni pastor, pengajar, diakon, dan penatua.
Pengajaran kalvinisme sebenarnya tidak dimulai oleh John Calvin, tetapi telah ada sebelumnya. Calvin sendiri mendapatkan theologinya dari Augustinus. Hal ini diakui oleh para penganut Kalvinisme sendiri. Oleh karena itu, para penganut Kalvinis berusaha untuk membuat citra Augustine menjadi sebaik mungkin.

3. Gereja Anglikan
Anglikanisme bermula pada pemerintahan Henry VII (1509-1547). Di Inggris raja Henry menobatkan dirinya sebagai kepala Gereja karena Paus di Roma menolak perceraiannya. Sebelumnya, Henry taat kepada gereja Roma. Pada tahun 1521 dia menerbitkan esei tentang Tujuh Sakramen melawan Luther. Oleh karena itu, Sri Paus memberi Henry gelar “Pembela Iman”. Henry mulai mencari cara mengakhiri perkawinannya dengan Catherine (pada saat itu dia sudah jatuh cinta pada Anne Boleyn). Henry mempekerjakan beberapa kelompok sarjana untuk mencarikan alasan yang tepat dan baik, menurut Alkitab, mengapa perkawinannya dengan Catherine memang sepantasnya diakhiri. Salah satu sarjana ini adalah Thomas Cranmer, lulusan Universitas Cambridge. Mulai tahun 1527 Thomas mengunjungi universitas-universitas di Eropa dan beberapa kaum Reformis Eropa untuk mencari dukungan mereka. Sri Paus tetap menolak untuk membatalkan perkawinan itu.
Salah satu pikiran para sarjana adalah bahwa Raja seharusnya menjadi kepala tertinggi Gereja di Inggris dan bukan Sri Paus. Pada tahun 1534 Parlemen mengesahkan Undang-undang Keunggulan (the Act of Supremacy), yang menyatakan bahwa Raja adalah kepala tertinggi Gereja Inggris. Sejak itu Raja dan Archbishop mulai merombak gereja. Selama tujuh tahun ke depan mereka dibantu oleh Thomas Cromwell, yang menjadi orang yang paling berkuasa di kerajaan sesudah Raja. Raja tidak mau mengadakan terlalu banyak reformasi teologis, dan dia selalu mencoba mengimbangi kekuatan kaum reformis dan kaum tradisionalis.
Anglikanisme menyerap pengaruh Reformasi, namun mempertahankan beberapa corak Gereja (Uskup-Imam-Diakon), sehingga berkembang dengan warna yang khas. Perombakan yang penting dan khas adalah Kebaktian dilaksanakan dengan bahasa Inggris , di samping itu Alkitab juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris, karena bahasa Latin kurang bisa dipahami. Semua patung dan tempat keramat di Gereja dimusnahkan, biara-biara ditutup dan tanah milik biara disambil Pemerintah.
Perubahan teologis yang utama adalah tentang pembenaran karena iman. Sayangnya Henry tidak mengikuti orang-orang reformis yang lain. Dia berpikir bahwa gagasan hanya iman saja merusak moral. Dia berpikir bahwa gagasan tersebut meniadakan nilai perbuatan baik, dan dengan demikian akan membahayakan keamanan kerajaan. Perdebatan teologis besar yang lain adalah tentang Misa (istilah Perjamuan Kudus di Gereja Katolik Roma). Ajaran Katolik tentang transubstantiation menyatakan bahwa pada waktu Misa, hakikat roti dan anggur menjelma menjadi tubuh dan darah Kristus yang sesungguhnya. Pada masa pemerintahan Henry, Cranmer mengatakan bahwa ajaran ini tidak benar. Dia menentang ide bahwa Kristus dikorbankan lagi setiap kali ada Misa. Dia juga menentang ide bahwa pengorbanan Kristus pada Misa ini dapat menolong orang-orang yang sudah meninggal dunia. Bahkan Cranmer mempercayai kehadiran sesungguhnya dari Kristus di dalam Perjamuan Kudus, pandangan ini serupa dengan pandangan Luther (maksudnya, tubuh dan darah Kristus hadir sungguh-sungguh dalam Perjamuan Tuhan, tetapi roti dan anggur tidak berubah). Kelak dia berubah pikiran lagi dan menyatakan bahwa tubuh Kristus ada di dalam surga dan bahwa kita menerima dan memakan Kristus di dalam hati saja dengan iman.

4. Gereja Katolik
Reaksi dari Gereja Katolik Roma atas gerakan reformasi ini adalah “Kontra-Reformasi” atau “Gerakan Pembaharuan Katolik”. Gerekan pembaharuan ini dimulai dengan menyelenggarakan Konsili Trente. Melalui Konsili Trente (1545-1563), Gereja Katolik berusaha untuk “menyingkirkan kesesatan-kesesatan dalam Gereja dan menjaga kemurnian Injil”. Konsili juga menegaskan posisi Katolik dalam hal-hal yang disangkal oleh pihak Reformasi (soal Kitab Suci dan Tradisi, penafsiran Kitab Suci, pembenaran jumlah Sakramen, kurban misa, imamat dan tahbisan, pembedaan imam dan awam serta lain-lainnya.
Konsili Trente dan sesudahnya menekankan Gereja sebagai penjaga iman yang benar dan utuh, ditandai dengan sakramen-sakramen. Khususnya ekaristi yang dimengerti serta dirayakan sebagai kurban sejati. Gereja bercorak hierarkis yang berwenang khusus dalam merayakan ekaristi, melayani pengakuan dosa. Gereja adalah kelihatan dan ini jelas dalam lembaga kepausan sebagai puncaknya. Gereja mewujudkan diri sebagai persekutuan para kudus lewat penghormatan pada mereka (para kudus) dan menghormati tradisi.

B. Ciri-ciri Protestanisme dan Perbedaannya dengan Gereja Katolik

1. Ciri-ciri Protesnanisme
  • Gereja diadakan oleh rahmat Tuhan, oleh pilihan, sabda, Sakramen dan anugerah iman. Gereja yang benar ini tidak kelihatan dan tidak identik dengan Gereja yang diketahui anggota dan susunannya (Gereja yang kelihatan). Gereja kudus adalah persekutuan orang-orang yang benar-benar beriman di tempat dan pada segala jaman. Gereja ini memberitakan sabda Allah “secara murni” dan melayani Sakramen Pembabtisan “dengan tepat”, maksudnya “sesuai dengan Alkitab”. Oleh karena itu, adanya banyak Gereja, yang sering tidak berhubungan satu sama lain, diterima saja karena di antara mereka tidak ada satupun yang dapat menganggap diri sebagai Gereja yang kudus. Manusia dibenarkan bukan oleh/dengan perbuatan tetapi oleh/dengan iman (sola fidae=hanya iman))
  • Kitab Suci adalah satu-satunya sumber ajaran dan susunan Gereja. Berkaitan dengan ini. Hanya Alkitab (sola scriptura) menjadi prinsip formal Protestanisme. Alkitab menerangkan sendiri artinya pada setiap orang yang membacanya, sehingga Gereja tidak berwenang memberi tafsiran otentik.
  • Pembenaran orang dari semula sampai selesai semata-mata rahmat Ilahi (sola Gratia=hanya rahmat). Tuhan menyatakan orang beriman benar bukan karena ia benar melainkan kebenaran yang lain, yaitu kebenaran Kristus yang dikenakan padanya. Perbuatan baik manusia adalah buah rahmat Ilahi semata-mata, tetapi tidak berarti untuk memperoleh pembenaran. Oleh karena itu, keselamatan diharapkan hanya dari rahmat Ilahi saja.
  • Sabda Ilahi adalah satu-satunya sarana rahmat yang dibentuk Alkitab, kotbah, Sakramen dan pembicaraan rohani. Sakramen tidak lain daripada sabda Ilahi dalam bentuk kelihatan, artinya dialami dan bukan hanya didengar. Oleh karena itu, ibadat maupun liturgi tidak begitu mendapat perhatian. Selain Pembabtisan, dirayakan Perjamuan Tuhan yang tidak dianggap kurban dan tidak mengenal perubahan (transsubstantiatio) roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Sebagian besar jemaat Protestan mengimani, bahwa Kristus hadir dalam perjamuan Tuhan. Berkat iman, orang bertemu dengan Kristus waktu menerima komini.
  • Imamat umum semua orang beriman saja yang diakui sehingga pendeta dan orang awam hanya berbeda menurut fungsi saja tanpa perbedaan rohani secara eksistensial.

2. Persamaan dan Perbedaan antara Katolisisme dan Protestanisme
Persamaan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan jelas sangat banyak dan menyangkut hal-hal yang sangar funfamental, karena berasal dari Yesus Kristus yang diakui oleh keduanya mengakui Allah yang sama, para nabi, Kitab Suci, dan syahadat yang sama. Hanya ada sejumlah perbedaan penafsiran dan penekanan. Perbedaan itu antara lain:







KATOLIKPROTESTAN
Tekanan ada pada sakramen dan pada segi sakramen (tanda kelihatan) dari karya keselamatan AllahTekanan pada sabda/pewartaan dan pada segi misteri karya Allah
Kultis, yang mementingkan kurban (Ekaristi). Hubungan dengan Gereja menentukan hubungan dengan KristusProfetis, yang terpusat pada sabda (pewartaan). Hubungan dengan Kristus menentukan hubungan dengan Gereja
Gereja secara hakiki bersifat hierarkisSegala pelayanan gerejawi adalah ciptaan manusia
Kitab suci dibaca dan dipahami di bawah pimpinan hierarkiSetiap orang membaca dan mengartikan Kitab Suci
Jumlah Kitab Suci 73 termasuk Diuterokanonika (yaitu, 1,2 Makabe, Sirakh, Kebijaksanaan, Tobit, Tudith dan Barukh)Jumlah Kitab Suci 66, tidak termasuk Deuterokanonika
Ada 7 sakramen Ada 2 sakramen (babtis dan ekaristi/perjamuan)
Ada devosi kepada para kudusTidak menerima devosi kepada para kudus


Demikianlah sejumlah perbedaan, yang kebanyakan merupakan perbedaan penafsiran dan penekanan. Sayang, orang sering hanya memperhatikan perbedaan-perbedaan itu dan melupakan persamaan-persamaan yang jauh lebih banyak dan lebih pokok.


C. Dialog dan Kerjasama antar Sesama Gereja Kristus melalui Gerakan Ekumene

1. Arti dan Kegiatan Ekumene
Gerakan Ekumenis ialah kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha untuk menanggapi bermacam-macam kebutuhan Gereja dan berbagai situsai dalam rangka mendukung kesatuan umat Kristen. Sejalan dengan saran dari Dekrit tentang Ekumene art 4, maka untuk mendukung kesatuan umat Kristen, yang dapat dilakukan adalah:
  • Menghindari kata-kata, penilaian, dan perbuatan yang dapat menimbulkan hubungan yang kurang baik antar umat Kristiani
  • Melaksanakan dialog, terutama dialog kehidupan (hidup rukun dengan sesama umat Kristen), dan dialog karya (berkarya bersama demi membantu kesejahteraan bersama)
  • Di beberapa tempat, Gereja-gereja tertentu pasti dapat dilaksanakan dialog doktrin. Praktek saling mengundang dan memberi masukan dalam suatu pekan studi atau semacamnya sudah sering dilaksanakan. Pertukaran dosen untuk bidang teologi Kitab Suci di Sekolah Tinggi Teologia juga sudah sering dilakukan. Dari kegiatan-kegiatan ini, kita dapat saling belajar dan mengisi.
  • Menyelenggarakan kerjasama demi kesejahteraan umum. Aksi bersama untuk membantu bencana alam dan sebagainya
  • Doa bersama atau ibadat bersama sejauh memungkinkan (perayaan Natal dan Paskah bersama) dapat dilaksanakan sebagai puncak dari satu kegiatan yang bersifat ekumenis.

2. Berbagai Aliran dalam Gereja Protestan
Pluralisme tidak hanya terjadi pada negara, namun juga terjadi dalam Gereja. Banyak aliran dalam Gereja Protestan. Sedikitnya ada sekitar duabelas aliran dalam Gereja Protestan, yaitu: Lutheran, Calvinis, Anglikan, Mennoit, Babtis, Methodis, Pentakostal, Kharismatik, Evangelical, Bala Keselamatan, Advent, dan sekte-sekte yang lain, di samping Christian Science, Scientology dan berbagai Gerakan zaman baru yang juga dianggap sebagai aliran Gereja.
Gereja Katolik telah melakukan dialog bilateral secara resmi dengan kebanyakan Gereja dunia. Dialog-dialog itu meliputi dialog dengan Komisi Internasional Anglikan-Katolik Rooma, Komisi Gabungan Internasional Katolik Roma-Lutheran, maupun dengan Gereja-Gereja Ortodoks, Dewan Methodis Dunia, Perserikatan Gereja-Gereja Reformasi Dunia, Perserikatan Gereja Babtis, Gereja-Gereja Pentekosta dan Para Murid Yesus. Sedangkan dengan Gereja-Gereja Evangelis masih tahap-tahap awal. Kelompok Kerja Gabungan didirikan di antara Dewan Gereja-Gereja Dunia, yang berkantor pusat di Jenewa dan di Roma. Selama Konsili vatikan II berakhir telah tercapai banyak perkembangan dalam pernyataan-pernyataan yang disetujui bersama.
Gereja Protestan di Indonesia dapat dikelompokkan atau dibedakan dalam beberapa kelompok:
  • Gereja Kristen Protestan yang lahir dari gerakan reformasi, misalnya: HKBP, GBKP, GKPI, dll
  • Gereja pentakosta, misalnya: Gereja Pentakosta Indonesia, Gereja Sidang Jemaat Allah, GBIS, GBI, dsb
  • Gereja Injili, misalnya: Gereja Kalam Kudus, Gereja Kristus Tuhan
Gereja-gereja Protestan di Indonesia ada yang termasuk ke dalam PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia) dan ada juga yang masuk PII. Di samping itu ada juga sejumlah sekte, antara lain: Mormon, Orang Kudus Jaman Akhir, Saksi Yehova, dsb.

Sumber:
1. Iman Katolik
2. Seri Murid-murid Yesus
3. Dewasa dalam Penghayatan Iman

07 February 2009

Hierarki dan Awam

Gereja adalah persekutuan yang semua anggotanya sungguh-sungguh sederajat martabatnya, sederajat pula kegiatan umum dalam membangun Tubuh Kristus (LG 31). Ada fungsi khusus dalam Gereja yang diemban oleh hierarki, ada corak hidup khusus yang dijalani biarawan/wati, ada fungsi dan corak hidup keduniaan yang menjadi medan khas para awam. Tetapi yang pokok adalah iman yang sama akan Allah dalam Kristus oleh Roh Kudus. Yang umum lebih penting daripada yang khusus.

A. Hierarki dalam Gereja Katolik
Kata hirarki berasal dari bahasa Yunani “hierarchy” yang berarti jabatan (hieros) suci (archos). Itu berarti bahwa yang termasuk dalam hierarki adalah mereka yang mempunyai jabatan karena mendapat penyucian melalui tahbisan. Maka mereka serng disebut sebagai kuasa tahbisan. Dan orang yang termasuk hieraki disebut sebagai para tertahbis. Namun, pada umumnya hierarki diartikan sebagai tata susunan. Hieraki sebagai pejabat umat beriman kristiani dipanggil untuk menghadirkan Kristus yang tidak kelihatan sebagai tubuhnNya, yaitu Gereja. Dalam tingkatan hieraki tertahbis (hierarchia ordinis), Gereja terdiri dari Uskup, Imam, dan Diakon (KHK 330-572). Menurut tata susunan yuridiksi (hierarchia yurisdictionis), yuriksi ada pada Paus dan para Uskup yang disebut kolegialitas. Kekhasan hierarki terletak pada hubungan khusus mereka dengan Kristus sebagai gembala umat.

1. Sejarah hierarki
Struktur hierarki bukanlah suatu yang ditambahkan atau dikembangkan dalam sejarah Gereja. Menurut ajaran Konsili Vatikan II, struktur itu dikehendaki Tuhan dan akhirnya berasal dari Kristus sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah hierarki di bawah ini:
a. Jaman Para Rasul
Awal perkembangan hirarki adalah kelompok kedua belas rasul. Kelompok inilah yang pertama-tama disebut rasul. Rasul atau “apostolos” adalah utusan. Akan tetapi setelah kebangkitan Kristus, sebutan rasul tidak hanya untuk kelompok kedua belas, melainkan juga utusan-utusan selain kelompok kedua belas itu. Bahkan akhirnya, semua “utusan jemaat” (2Kor8:22) dan semua “utusan Kristus” (2Kor 5:20) disebut rasul. Lama kelamaan, kelompok rasul lebih luas dari pada kelompok kedua belas rasul. Sesuai dengan namanya, rasul diutus untuk mewartakan iman dan memberi kesaksian tentang kebangkitan Kristus.

b. Jaman sesudah Para Rasul
Setelah kedua belas rasul tidak ada, muncul aneka sebutan, seperti “penatua-penatua” (Kis 15:2), dan “rasul-rasul”, “nabi-nabi”, pemberita-pemberita Injil”, gembala-gembala”, “pengajar” (Ef 4:11), “episkopos” (Kis 20:28), dan “diakonos” (1Tim 4:14). Dari sebutan itu ada banyak hal yang tidak jelas arti dan maksudnya. Namun pada akhir perkembangannya, ada struktur dari Gereja St. Ignatius dari Antiokhia yang mengenal sebutan “penilik” (episkopos), “penatua” (prebyteros), dan “pelayan” (diakonos). Struktur inilah yang selanjutnya menjadi struktur hirarki Gereja yang menjadi Uskup, Imam, dan diakon. Di sini yang penting, bukanlah kepemimpinan Gereja yang terbagi atas aneka fungsi dan peran, melainkan bahwa tugas pewartaan para rasul lama-kelamaan menjadi tugas kepemimpinan jemaat.

2. Dasar kepemimpinan (hirarki) dalam gereja
Berdasarkan sejarah di atas, maka kepemimpinan dalam Gereja diserahkan kepada hierarki. Konsili mengajarkan bahwa “atas penetapan Ilahi, para usukup menggantikan para rasul sebagai penggembala Gereja” (lih LG 20). “ Konsili suci ini mengajarkan dan mengatakan bahwa Yesus Kristus, Gembala kekal mendirikan Gereja kudus dengan mengutus para rasul seperti Dia diutus oleh Bapa (lih Yoh 20:21). Para pengganti mereka, yakni para uskup, dikehendakiNya menjadi gembala dalam gerejaNya sampai akhir jaman (lih. LG 18).
Pernyataan di atas dimaksudkan bahwa dari hidup dan kegiatan Yesus timbullah kelompok orang yang kemudian berkembang menjadi Gereja, seperti yang dikenal sekarang. Proses perkembangan pokok itu terjadi dalam umat perdanan (Gereja Perdana), yakni Gereja yang mengarang Kitab Suci Perjanjian Baru. Jadi dalam kurun waktu antara kebangkitan Yesus dan awal abad kedua secara prinsip terbentuklah hierarki gereja yang dikenal sekarang. Wujud Gereja perdana beserta struktur kepemimpinannya menjadi patokan bagi perkembangan Gereja selanjutnya.

3. Struktur kepemimpinan (hirarki) dalam Gereja
Secara struktural kepemimpinan dalam Gereja sekarang dapat diurutkan sebagai berikut:
a. Dewan Para Uskup dengan Paus sebagai Kepalanya
Ketika Kristus mengangkat kedua belas rasul, Ia membentuk mereka menjadi semacam dewan atau badan tetap. Sebagai ketua dewan, Yesus mengangkat Petrus yang dipilihNya dari antara para rasul itu. Seperti santo Petrus dan para rasul lainnya, atas penetapan Kristus merupakan satu dewan para rasul. Begitu pula Paus (penganti Petrus) bersama uskup (pengganti rasul) merupakan satu himpunan yang serupa.
Pada akhir masa Gereja perdana, sudah diterima cukup umum bahwa para uskup adalah pengganti para rasul. Tetapi hal itu bukan berarti bahwa hanya ada dua belas uskup (karena ada dua belas rasul). Bukan rasul satu persatu diganti orang lain, tetapi kalangan para rasul sebagai pemimpin Gereja diganti oleh para uskup. Tegasnya Dewan Para Uskup adalah pengganti Para Rasul (LG 20). Yang menjadi pimpinan Gereja adalah Dewan Para Uskup.
Seseorang menjadi Uskup karena diterima ke dalam dewan ini. “Seseorang menjadi anggota Dewan Para Uskup dengan menerima tahbisan sacramental dan berdasarkan persekutuan hirarkis dengan kepala maupun para anggota Dewan” (LG 22). Sebagai lambang kolegial ini, tahbisan Uskup selalu dilakukan paling sedikit tiga uskup, sebab tahbisan Uskup berarti bahwa seorang anggota baru diterima ke dalam dewan Uskup” (LG 11). Uskup itu pertama-tama adalah pemimpin Gereja setempat. Namun dalam persekutuan Gereja-gereja setempat hiduplah Gereja universal. Dalam persekutuan dengan uskup-uskup lain itu, para uskup setempat menjadi pemimpin Gereja Universal. Maka uskup merupakan pemimipin Gereja setempat sekaligus pemimpin Gereja Universal.

b. Paus
Konsili Vatikan II menegaskan “adapun dewan atau badan para uskupp hanyalah berwibawa, bila bersatu dengan imam agung di Roma pengganti Petrus sebagai kepala dan selama kekuasaan primatnya terhadap semua, baik para gembala maupun kaum beriman, tetap berlaku seutuhnya.” Sebab Imam Agung di Roma berdasarkan tugasnya, yakni sebagai wakil Kristus dan gembala Gereja semesta mempunyai kuasa penuh, tertinggi, dan universal terhadap gereja, dan kuasa itu selalu dapat dijalankan dengan bebas (LG 22).
Penegasan itu didasarkan bahwa Kristus mengangkat Petrus sebagai ketua para rasul. Yesus mengangkat Santo Petrus menjadi ketua para rasul lainnya. Dalam diri Petrus, Yesus menetapkan adanya asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap dan kelihatan (bdk. LG 18) Petrus diangkat menjadi pemimpin para rasul. Paus yang adalah pengganti Petrus juga pemimpin para uskup.
Menurut kesaksian tradisi, Petrus adalah uskup Roma yang pertama. Karena itu, Roma dipandang sebagai pusat dan pedoman seluruh Gereja. Menurt keyakinan tradisi, Uskup Roma itu pengganti Petrus, bukan hanya sebagai uskup local melainkan terutama dalam fungsinya sebagai ketua Dewan Pimpinan Gereja. Paus adalah uskup Roma, dan sebagai Uskup Roma, ia adalah pengganti Petrus dengan tugas dan kuasa seperti Petrus.
Tugas dan kuasa Petrus, menurut Perjanjian Baru, begitu istimewa (Mat 16:16-19; Yoh 21:15-19), Ia diakui sebagai pemimpin Gereja. “Para rasul menghimpun Gereja semesta, yang oleh Tuhan didirikan dalam diri mereka dan di atas rasul Petrus, ketua mereka, sedangkan Yesus Kristus sendiri sebagai batu sendinya” (LG 19). Fungsi dan kedudukan Petrus sebagai pemimpin Gereja diakui pula sebagai unsure prinsip hirarki, yang akhirnya berasal dari Kristus sendiri. Itulah tugas dan wewenang Paus, pengganti Petrus.

c. Uskup
Pada dasarnya Paus adalah seorang Uskup. Seorang uskup selalu berkarya dalam persekutuan dengan para Uskup lain dan mengakui paus sebagai kepala. Karya seorang uskup adalah “menjadi asas dan dasar kelihatan bagi kesatuan dalam GerejaNya (LG 23). Tugas pokok uskup di tempatnya sendiri adalah pemersatu. Tugas hirarki yang pertama dan utama adalah mempersatukan dan mempertemukan umat. Tugas ini dapat disebut tugas kepemimpinan dan para uskup “dalam arti sesungguhnya disebut pembesar umat yang mereka bimbing” (LG 27)
Tugas pemersatu ini selanjutnya dibagi menjadi tugas khusus menurut tiga bidang kehidupan gereja, yaitu pewartaan, perayaan, dan pelayanan, di mana dimungkinkan komunikasi iman dalam Gereja. Dan dalam bidang-bidang itulah para Uskup dan Paus menjalankan tugas kepemimpinannya. Pewartaan Injil menjadi tugas terpenting (LG 25). Tugas penting selanjutnya adalah perayaan, “mempersembahkan ibadat agama Kristen kepada Allah yang Mahaagung dan mengaturnya menurut perintah Tuhan dan hukum Gereja” (LG 26). Selanjutnya adalah pelayanan, “membimbing Gereja-gereja yang dipecayakan kepada mereka sebagai wakil dan utusan Kristus, denan petunjuk-petunjuk, nasihat-nasihat, dan teladan hidup merka, tetapi juga dengan kewibawaan dan kuasa suci” (LG 27). Dalam ketiga bidang keidupan menggereja, Uskup bertindak sebagai pemersatu, yang mempertemukan orang dalam komunikasi iman.

d. Pembantu Uskup: Imam dan Diakon
Dalam mengemban tugas dan fungsinya, para uskup memerlukan “pembantu” dan rekan “kerja”, mereka adalah:
1) Para Imam: adalah wakil uskup
Di setiap jemaat setempat dalam arti tertentu, mereka menghadirkan uskup.
“Para Imam dipanggil melayani umat Allah sebagai pembantu arif bagi badan Uskup, sebagai penolong dan organ mereka “(LG 28).
Tugas konkret para imam sama seperti uskup. Mereka ditahbiskan pertama-tama untuk mewartakan Injil (lih. PO 4) dan menggembalakan umat (lih. PO 6)
2) Diakon: pelayan, hirarki tingkat yang lebih rendah
Ditumpangi tangan bukan untuk imamat tetapi untuk pelayanan (LG 29). Mereka ini juga pembantu Uskup, tetapi tidak mewakili.
Para diakon adalah pembantu Uskup dengan tugas terbatas. Dengan kata lain diakon adalah pembantu khusus uskup, sedangkan imam adalah pembantu umum Uskup.

“Kardinal”, Kardinal bukan jabaran hirarkis dan tidak termasuk struktur hirarkis. Kardinal adalah penasehat Paus dan membantu Paus dalam tugas reksa harian seluruh Gereja. Mereka membentuk suatu dewan Kardinal. Jumlah dewan yang berhak memilih Paus dibatasi 120 orang yang di bawah usia 80 tahun. Seorang Kardinal dipilih oleh Paus secara bebas.

4. Fungsi Khusus Hierarki
Seluruh umat Allah mengambil bagian di dalam tugas Kristus sebagai nabi (mengajar), imam (menguduskan), dan raja (menggembalakan). Pada kenyataannya umat tidak seragam, maka Gereja mengenal pembagian tugas tiap komponen umat (hirarki, biarawan/wati, dan awam). Menjalankan tugas dengan cara yang berbeda. Berdasarkan keterangan yang telah diungkapkan di atas, fungsi khusus hirarki adalah:

  • Menjalankan tugas gerejani, yakni tugas-tugas yang langsung dan eksplistis menyangkut kehidupan beriman Gereja, seprti: pelayanan sakramen-sakramen, mengajar, dan sebagainya.

  • Menjalankan tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman. Hirarki mempersatukan umat dalam iman dengan petunjuk, nasihat, dan teladan.


5. Corak Kepemimpinan dalam Gereja

  1. Kepemimpinan dalam Gereja merupakan suatu anggilan khusus di mana campur tangan Tuhan merupakan unsur yang dominan. Kepemimpinan Gereja tidak diangkat oleh manusia berdasarkan bakat, kecakapan, atau prestasi tertentu. Kepemimpinan dalam Gereja tidak diperoleh oleh kekuatan manusia sendiri. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” Kepemimpinan dalam mayarakat dapat diperjuangkan oleh manusia, tetapi kepemimpinan dalam Gereja tidaklah demikian

  2. Kepemimpinan dalam Gereja bersifat mengabdi dan melayani dalam arti semurni-murninya, walaupun ia sunggunh mempunyai wewenang yang berasal dari Kristus sendiri. Kepemimpinan gerejani adalah kepemimpinan melayani, bukan untuk dilayani

  3. Kepemimpinan untuk menjadi yang terakhir, bukan yang pertama. Kepemimpinan untuk mencuci kaki sesame saudara. Ia adalah pelayan. (Paus dikatakan sebagai “Servus Servorum Dei”=hamba dari hamba-hamba Allah). Kepemimpinan dalam masyarakat diangkat untuk memerintah dalam arti sesungguhnya. Ia memiliki kedudukan yang “pertama”. Kepemimpinan dalam masyarakat merupakan suatu “pangkat”, tidaklah demikian dalam Gereja.

  4. Kepemimpinan hirarki berasal dari Tuhan, maka tidak dapat dihapuskan oleh manusia. Kepemimpinan dalam masyarakat dapat diturunkan oleh manusia, karena ia memang diangkat dan diteguhkan oleh manusia.


B. Hubungan Awam dan Hirarki sebagai Patner Kerja
Sesuai dengan ajaran Konsili vatikan II, rohaniwan (hirarki) dan awam memiliki martabat yang sama, hanya berbeda fungsi. Semua fungsi sama luhurnya, asal dilaksanakan dengan motivasi yang baik, demi Kerajaan Allah.

1. Pengertian Awam
Yang dimaksud dengan kaum awam adalah semua orang beriman Kristiani yang tidak termasuk golongan yang menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang diakui dalam Gereja (lih. LG 31).
Definisi awam dalam praktek dan dalam dokumen-dokumen Gereja ternyata mempunyai 2 macam:

  1. Definisi teologis: Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan. Jadi, awam meliputi biarawan/wati seperti suster dan bruder yang tidak menerima tahbisan suci.

  2. Definisi tipologis: Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan/wati. Maka dari itu awam tidak mencakup para suster dan bruder
    Definisi ini dikutip dari Lumen Gentium yang rupanya menggunakan definisi tipologis. Dan untuk selanjutnya istila “awam” yang digunakan adalah sesuai dengan penegrtian tipologis di atas


2. Peranan Awam
Peranan Awam sering disitilahkan sebagai Kerasulan Awam yang tugasnya dibedakan sebagai Kerasulan internal dan eksternal.
Kerasulan internal atau kerasulan “di dalam Gereja” adalah kerasulan membangun jemaat. Kerasulan ini lebih diperani oleh jajaran hirarkis, walaupun awam dituntut juga untuk mengambil bagian di dalamnya.
Kerasulan eksternal atau kerasulan “dalam tata dunia” lebih diperani oleh para awam. Namun harus disadari bahwa kerasulan dalam Gereja bermuara pula ke dunia. Gereja tidak hadir di dunia ini untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia. Gereja hadir untuk membangun Kerajaan Allah di dunia ini
Berikut akan diuraikan peranan awam dalam kerasulan eksternal dan interna

a. Kerasulan dalam tata Dunia (eksternal)
Berdasarkan panggilan khasnya, awam bertugas mencari Kerajaan Allah dengan mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, yakni dalam semua dan tiap jabatan serta kegiatan dunia. Mereka dipanggil Allah agar sambil menjalankan tugas khasnya dan dibimbing oleh semangat Injil. Mereka dapat menguduskan dunia dari dalam laksana ragi (lih. LG 31)
Kaum awam dapat menjalankan kerasulannya dengan kegiatan penginjilan dan pengudusan manusia serta meresapkan dan memantapkan semangat Injil ke dalam “tata dunia” sedemikian rupa sehingga kegiatan mereka sungguh-sungguh memberikan kesaksian tentang karya Kristus dan melayani keselamatan manusia
Dengan kata lain “tata dunia” adalah medan bakti khas kaum aam. Hidup keluarga dan masyarakat yang bergumul dalam bidang-bidang ipoleksosbudhamkamnas hendaknya menjadi medan bakti mereka.
Cukup lama, bahkan samapai sekarang ini, masih banyak di antara kita yang melihat kerasulan dalam tata dunia bukan sebagai kegiatan kerasulan. Mereka menyangka bahwa kerasulan hanya berurusan dengan hal-hal rohani yang sacral, kudus, serba keagamaan, dan yang menyangkut kegiatan-kegiatan dalam lingkup Gereja.
Dengan paham gereja sebagai “Tanda dan Sarana Keselamatan Dunia” yang dimunculkan oleh gaudium et Spest, di mana otonomi dunia dan sifatnya yang secular diakui, maka dunia dan lingkungannya mulai diterima sebagai patner dialog dapat saling memperkaya diri. Orang mulai menyadari bahwa menjalankan tugas-tugas duniawi tidak hanya berdasrkan alas an kewargaan dalam masyarakat atau Negara saja, tetapi juga karena dorongan iman dan tugas kerasulan kita, asalkan dengan motivasi yang baik. Iman tidak hanya menghubungkan kita dengan Tuhan, tetapi sekaligus juga menghubungkan kita dengan sesame kita di dunia ini

b. Kerasulan dalam Gereja (internal)
Karena Gereja itu Umat Allah, maka Gereja harus sungguh-sungguh menjadi Umat Allah. Ia hendaknya mengkonsolidasi diri untuk benar-benar menjadi Umat Allah itu. Ini adalah tugas membangun gereja. Tugas ini dapat disebut kerasulan internal. Tugas ini pada dasrnya dipercayakan kepada golongan hirarkis (kerasulan hirarkis), tetapi awam dituntut pula untuk ambil abgian di dalamnya.
Keterlibatan awam dalam tugas membangun gereja ini bukanlah karena menjadi perpanjangan tangan dari hirarki atau ditugaskan hirarki, tetapi karena pembabtisan ia mendapat tugas itu dari Kristus. Awam hendaknya berpartisipasi dalam tri tugas gereja.
1) Dalam tugas nabiah (pewarta sabda), seorang awam dapat
mengajar agama, sebagai katekis,
memimpin kegiatan pendalaman Kitab Suci atau pendalaman iman, dsb

2) Dalam tugas imamiah (menguduskan), seorang awam dapat
Memimpin doa dalam pertemuan umat,
Memimpin koor atau nyanyian dalam ibadah,
Membagi komuni sebagi prodiakon,
Menjadi pelayan putra Altar, dsb

3) Dalam tugas nabiah (pewarta sabda), seorang awam dapat:
Menjadi angota dewan paroki,
Menjadi ketua seksi, ketua lingkungan atau wilayah, dsb

c. Hubungan Awam dan Hirarki
Mengenai hubungan antara awam dan hiraki, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
1) Gereja sebagai Umat Allah
Keyakinan bahwa semua anggota warga Gereja memiliki martabat yang sama, hanya berbeda fungsi dapat menjamin hubungan yang wajar antara semua komponen Gereja. Tidak boleh ada klaim bahwa komponen-komponen tertentu lebih bermartabat dalam Gereja Kristus dan menyepelekan komponen yang lainnya. Keyakinan ini harus diimplementasikan secara konsekuen daam hidup dan karya semua anggota Gereja.

2) Setiap Komponen Gereja memiliki Fungsi yang khas
Setiap komponen Gereja memiliki fungs yang khas. Hirarki yang bertugas memimpin (melayani) dan mempersatuakan Umat Allah. Biarawan/wati dengan kaul-kaulnya mengarahkan Umat Allah pada dunia yang akan dating (eskatologis). Para awam bertugas merasul dalam tata dunia. Mereka menjadi rasul dalam keluarga-keluarga dan dalam masyarakat di bidang ipoleksosobudhamkamnas.
Jika setiap komponen gereja menjalankan fungsinya msing-masing dengan baik, maka adanya kerja sama yang baik pasti terjamin.

3) Kerja sama
Walaupun tiap komponen memiliki funsinya masing-masing, namun untuk bidang-bidang tertentu, terlebih dalam kerasulan internal yaitu membangun hidup menggereja, masih dibutuhkan partisipasi dan kerja sama dari semua komponen.
Dalam hal ini hendaknya hirarki tampil sebagai pelayan yang memimpin dan mempersatukan. Pimpinan tertahbis, yaitu dewan diakon, dewan presbyter, dan dewan uskup tidak berfungsi untuk mengumpulkan kekuasaan ke dalam tangan mereka, melainkan untuk menyatukan rupa-rupa tipe, jenis, dan fungsi pelayanan (charisma( yang ada.
Hirarki berperan untuk memelihara keseimbangan dan persaudaraan di antara sekian banyak tugas pelayanan. Para pemimpin tertahbis memperhatikan serta memelihara keseluruhan visi, misi, dan reksa pastoral. Karena itu, tidak mengherankan bahwa di antara mereka termasuk dalam dewan hirarki ini ada yang bertanggungjawab untuk memelihara ajaran yang benar dan memimpin perayaan sakramen-sakramen.

Sumber:
1. Iman Katolik
2. Seri Murid-murid Yesus
3. Dewasa dalam Penghayatan Iman

01 February 2009

Arti dan makna Gereja

Kata “Gereja” berasal dari kata “igreja” (bahasa portugis) dibawa oleh para misionaris Portugis ke Indonesia. Kata tersebut adalah ejaan Portugis untuk kata Latin “ecclesia”. Ternyata kata tersebut memungut dari bahasa Yunani “ekklèsia” yang berarti “kumpulan”, atau “pertemuan”, “rapat”. Namun Gereja atau “ekklèsia” bukan sembarang kumpulan, melainkan kelompok orang yang sangat khusus. Kata Yunani “ekklèsia” berasal dari kata yang berarti “ memanggil” (ex=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil). Jadi artinya adalah kumpulan orang yang dipanggil keluar (dari dunia ini). Gereja dalah umat yang dipanggil Tuhan. Arti Gereja bagi umat Kristen adalah persekutuan orang yang beriman dalam Kristus, jadi pertama-tama bukan berarti suatu gedung.

Sepanjang sejarah Gereja itu sendiri, dari zaman ke jaman, Gereja “diartikan” dan dihayati secara kaya, dengan aspek dan penekanan tertentu sesuai dengan zaman tertentu. Ia begitu kaya, sehingga ia dapat muncul dan memberi arti (makna) pada posisi secara tepat di segala waktu dan tempat. Paham-paham Gereja yang mucul di antaranya adalah Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus, Bait Allah, Misteri dan Sakramen, Persekutuan para Kudus, “Communio”, dan Umat Allah.

Pada abad ini, lebih dari sebelum-sebelumnya, Gereja sungguh menyadari kehadiran dan peranannya untuk dunia dewasa ini. Gereja didirikan oleh Yesus Kristus untuk menyelamatkan dunia. Gereja itu sendiri terbentuk 50 hari setelah kebangkitan Yesus Kristus pada hari Pentakosta, yaitu ketika Roh Kudus yang dijanjikan Allah diberikan kepada semua yang percaya pada Yesus Kristus (turunnya Roh Kudus atas para rasul). Misi Gereja dewasa ini adalah sesuai dengan rencana Allah sejak keabadian, yang sekrang mulai sedikit demi sedikit tersingkap dan mulai memantapkan karya penyelamatannya di tengah masyarakat luas.

Pandangan baru yang muncul bersama Konsili Vatikan II ialah pandangan Gereja sebagai Umat Allah dan Sakramen Keselamatan. Eklesiologi prakonsili Vatikan II yang lebih berciri hierarkis piramidal bergeser ke arah Gereja Umat Allah, di mana semua anggota Gereja terlibat aktif melanjutkan misi dan karya Yesus.
Pandangan Gereja sebagai umat Allah membawa gagasan baru, antara lain:
  • Memperlihatkan sifat historis Gereja yang hidup “inter tempora”, yakni Gereja dilihat menurut perkembangannya dalam sejarah keselamatan; hal ini berarti menurut perkembangan di bawah dorongan Roh Kudus, segi organisatoris Gereja tidak terlalu ditekankan lagi, tetapi sebagai gantiya ditekankan segi kharismatisnya. Gereja berkembang “dari bawah”, dari kalangan umat sendiri.
  • Menempatkan hierarki dalam keseluruhan Gereja sebagai fungsi, sehingga sifat pengabdian hierarki menjadi lebih kentara. Hierarki jelas mempunyai fungsi pelayanan. Hierarki tidak ditempatkan di atas umat, tetapi di dalam umat.
  • Memungkinkan pluriformitas (mempunyai bentuk yang banyak) dalam hidup Gereja, termasuk pluriformitas dalam corak hidup, ciri-ciri dan sifat pelayanan dalam Gereja.

A. Gereja Sebagai Umat Allah

1. Arti dan Makna Gereja sebagai Umat Allah
Istilah Umat Allah sebenarnya merupakan istilah yang sudah sangat tua. Istilah itu sudah dipakai sejak dalam Perjanjian Lama (terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, misalnya dalam Kel. 6: 6; 33: 13; Yeh. 36: 28; Ul. 7: 6, 26: 15). Istilah tersebut kemudian dihidupkan lagi oleh Konsili Vatikan II sebagai paham yang baru.

Paham Gereja sebagai umat Allah dianggap sebagai paham yang cocok atau relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Paham ini dinilai memiliki nilai historis dengan umat Allah Perjanjian Lama karena Gereja menganggap diri sebagai Israel Baru, kelanjutan dari Israel yang lama.

Bertitik tolak dari Umat Allah dalam Perjanjian Lama, maka pengertian Umat Allah dalam paham Gereja sekarang ini juga mempunyai ciri khas sebagai berikut:
  • Umat Allah merupakan suatu pilihan dan panggilan dari Allah sendiri. Umat Allah adalah bangsa terpanggil, bangsa terpilih.
  • Umat Allah dipanggil dan dipilih Allah untuk misi tertentu, yaitu menyelamatkan dunia.
  • Hubungan antara Allah dengan umat-Nya dimeteraikan oleh suatu perjanjian. Umat harus menaati perintah-perintah Allah dan Allah akan selalu menepati janji-janjiNya
  • Umat Allah selalu dalam perjalanan, melewati padang pasir, menuju Tanah Terjanji.

Gereja sungguh merupakan UMAT ALLAH YANG SEDANG DALAM PERJALANAN MENUJU RUMAH BAPA.

Pengerian Gereja sebagai Umat Allah dimunculkan karena Gereja sudah menjadi sangat organisatoris dan struktur piramidal. Gereja pertama-tama bukan organisasi manusiawi, melainkan perwujudan karya Allah yang konkret (LG 9). Gereja adalah kelompok dinamis yang keluar dari sejarah Allah dengan manusia. Gereja mengalami dirinya sungguh erat dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1). Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah keselamatan yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham. Namun hal itu bukan berarti Gereja hanyalah lanjutan bangsa Israel saja. Kedatangan Kristus memberi arti yang baru kepada Umat Allah.

Sekarang kita sudah kembali kepada Kitab Suci, di mana Gereja sungguh merupakan satu umat Allah yang sehati sejiwa, seperti yang ditunjukkan oleh Umat Perdana, yang imannya kita anut sampai sekarang (lih. Kis 2:41-47). Gereja harus merupakan seluruh umat, bukan hanya hierarki saja dan awam hanya seolah-olah merupakan tambahan, pendengar, dan pelaksana. Gereja hendaknya MENGUMAT.

Gereja sebagai umat Allah merupakan persaudaraan/paguyuban keluarga dari orang-orang yang dipanggil oleh Sabda Allah, dikumpulkan bersama-sama menjadi Tubuh Kristus dan hidup dari Tubuh Kristus. Sebagai umat Allah, semua anggota Gereja mempunyai martabat yang sama, tetapi berbeda di dalam fungsi. Jadi Gereja sebagai umat Allah adalah paguyuban, relasi bersaudara, ikatan kesatuan Bapa, Putra, Roh Kudus, satu iman, satu kasih, satu pengharapan yang sama derajatnya.

2. Dasar dan Konsekuensi Gereja yang Mengumat
Setiap pribadi dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam kehidupan Umat Allah, karena:
  • Hidup mengumat pada dasarnya merupakan hakikat Gereja itu sendiri, sebab hakikat Gereja adalah persaudaraan cinta kasih seperti yang dicerminkan oleh hidup Umat Perdana (lih. Kis 2:41-47)
  • Dalam hidup mengumat banyak kharisma dan rupa-rupa karunia dapat dilihat, diterima, dan digunakan untuk kekayaan seluruh Gereja. Hidup Gereja selalu menampilkan segi organisatoris dan struktural dapat mematikan banyak kharisma dan karunia yang muncul dari bawah (lih. 1 Kor 12:7-10)
  • Dalam hidup mengumat, semua orang yang merasa menghayati martabat yang sama akan tanggungjawab secara aktif dalam fungsinya masing-masing untuk membangun Gereja dan memberi kesaksian kepada dunia (lih. Ef 4:11-13; 1Kor 12:12-18; 26-27).

Gereja sungguh merupakan umat Allah, maka konsekuensi bagi Gereja itu sendiri:

a. Konsekuensi bagi pimpinan Gereja (hierarki)
  • Menyadari fungsi pimpinan sebagai fungsi pelayanan, pimpinan bukan di atas umat, tetapi di tengah umat
  • Harus peka untuk melihat dan mendengar kharisma dan karunia-karunia yang tumbuh di kalangan umat.
b. Konsekuensi bagi setiap anggota umat
  • Menyadari dan menghayati persatuannya dengan umat lain. Orang tidak dapat menghayati kehidupan imannya secara individu saja.
  • Aktif dalam kehidupan mengumat, menggunakan segala kharisma, karunia, dan fungsi yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan misi Gereja di tengah masyarakat. Semua bertanggungjawab dalam hidup dan misi Gereja.
c. Konsekuensi bagi hubungan awam dan hierarki
Paham Gereja sebagai umat Allah jelas membawa konsekuensi dalam hubungan antara hierarki dan kaum awam. Kaum awam bukan lagi menjadi pelengkap penyerta, melainkan patner hierarki. Awam dan hierarki memiliki martabat yang sama meskipun menjalankan fungsi yang berbeda-beda.

B. Gereja Sebagai Persekutuan Terbuka
Konsili Vatikan II tidak mengabaikan apa yang ditekankan dalam Gereja prakonsili, namun mulai menyeimbangkan hal-hal yang menjadi keprihatinan Gereja sebagai persekutuan “Umat Allah”. Konstitusi dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium Bab II), umat Allah dilukiskan sebagai persekutuan Roh Kudus, sebagai persekutuan hidup, cinta kasih, dan kebenaran. Roh Kudus mendapat tempat utama yang menghidupi dan memimpin seluruh Gereja. Umat dilengkapi dengan upaya-upaya kesatuan yang kelihatan dan bersifat kemasyarakatan (LG 9).

1. Model Gereja
Ada dua hal yang ditekankan tentang paham gereja sebagai persekutuan terbuka, yakni segi persekutuannya dan keterbukaannya (persekutuan yang tidak tertutup)
Munculnya paham Gereja sebagai persekutuan Umat Allah disebabkan antara lain oleh paham dan penghayatan Gereja institusional yang berkembang sebelum Konsili Vatikan II, di mana lebih menekankan segi organisatoris dan struktural hierarki piramidal. Hal itu dapat di lihat dalam gambar di bawah ini.


Gambar di atas menunjukkan dua model Gereja, yaitu model Gereja institusional hierarki piramidal dan Gereja persekutuan umat.

a. Gereja institusional, sangat menonjol dalam hal:
  • Organisasi (lahiriah) yang berstruktur piramidal: tertata rapi
  • Kepemimpinan tertahbis atau hierarki: hierarki hamper identik dengan Gereja sendiri. Suatu institusi, apalagi institusi besar seperti Gereja, tentu membutuhkan pemimpin yang kuat
  • Hukum dan peraturan: untuk menata dan menjaga kelangsungan suatu institusi, apalgi yang berskala besar, tentu saja dibutuhkan hukum dan peraturan yang jelas
  • Sikap yang agak triumpalistik dan tertutup: gereja merasa sebagai satu-satunya penjamin kebenaran dan keselamatan. “Extra eclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan)

b. Gereja sebagai persekutuan umat, mau menonjolkan:
  • Hidup persaudaraan karena iman dan harapan yang sama: persaudaraan adalah persaudaraan kasih
  • Keikutsertaan semua umat dalam hidup bergereja: bukan saja hierarki dan biarawan/biarawati yang harus aktif dalam menggereja, tetapi seluruh umat
  • Hukum dan peraturan memang perlu, tetapi dibutuhkan pula peranan hati nurani dan tanggung jawab pribadi
  • Sikap miskin, sederhana, dan terbuka: rela berdialog dengan pihak mana pun, sebab Gereja yakin bahwa di luar Gereja Katolik terdapat pula kebenaran dan keselamatan

2. Keanggotaan dalam Gereja sebagai Persekutuan Umat
Gereja adalah persekutuan Umat Allah untuk membangun Kerajaan Allah di bumi ini. Dalam persekutuan ini, semua anggota mempunyai martabat yang sama, namun dari segi fungsinya dapat berbeda.

a. Golongan Hierarki
Hierarki dalah orang-orang yang ditahbiskan untuk tugas kegembalaan. Mereka menjadi pemimpin dan pemersatu umat, sebagai tanda efektif yang nyata dari otoritas Kristus sebagai kepala umat. Hierarki adalah tanda nyata bahwa umat tidak dapat membentuk dan membina diri atas kuasanya sendiri, tetapi tergantung dari Kristus. Otoritas Kristus atas gereja-Nya ditandai oleh hierarki:

Tugas-tugas hierarki adalah:
1) Hierarki menjalankan tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman
Hierarki mempersatukan umat dalam iman, tidak hanya dengan petunjuk, nasehat, dan teladan, tetapi juga dengan kewibawaan dan kekuasaan kudus (LG 27)
2) Hierarki menalankan tugas gerejani, seperti merayakan sakramen, mewartakan sabda, dan sebagainya

b. Biarawan/wati
Seorang biarawan/wati adalah anggota umat yang dengan mengucapkan kaul kemiskinan, ketaatan, dan keperawanan (kemurnian) selalu bersatu dengan Kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus Kristus secara radikal. Dengan demikian, mereka menjadi tanda nyata dari hidup dalam Kerajaan Allah. Jadi kaul ketaatan, kemiskinan, dan keperawanan adala sesuatu yang khas dalam kehidupan membiara. Kekhasan itu terletak dalam radikalisetnya menghayati kemiskinan, ketaatan, dan hidup wadat. Harta dan kekayaan, kuasa dan kedudukan, perkawinan dan hidup berkeluarga adalah sesuatu yang baik dan sangat bernilai dalam hidup ini. Namun, semua nilai itu relative, tidak absolut, dan tidak abadi sifatnya.

Dengan menghayati kaul-kalul kebiaraan, para biarawan dan biarawati menjadi “tanda” bahwa:
  • Kekayaan, kekuasaan, dan hidup berkeluarga walapun sangat bernilai, tetapi tidaklah absolut dan abadi. Maka, kita tidak boleh mendewa-dewakannya
  • Kaul kebiaraan itu mengarahkan kita pada Kerajaan Allah dalam kepenuhannya kelak. Kita adalah umat musyafir
c. Kaum Awam
Maksud dari “kaum awam” di sini adalah semua orang beriman Kristen yang tidak termasuk golongan tertahbis dan biarawan/wati. Mereka adalah orang-orang yang dengan pembabtisan menjadi anggota Gereja dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, raja, dan nabi. Dengan demikian , mereka menjalankan perutusan seluruh Gereja dalam umat dan masyarakat.

Bagi kaum awam, ciri keduniaan adalah khas dan khusus. Mereka mengemban kerasulan dalam tata dunia, baik dalam keluarga mapun masyarakat, entah sebagai ayah-ibu, sebagai petani, guru,pedagang, polisi, dan sebagainya.

Kerasulan tata dunia atau kerasulan eksternal ini sangat penting, karena sangat strategis dalam rangka membangun Kerajaan Allah di dunia ini. Kerasulan tata dunia sama pentingnya dengan kerasulan ke dalam Gereja itu sendiri, walaupun sering kali kurang disadari. Dalam kerasulan tata dunia ini pula, kaum awam menghayati spritualitasnya yang khas. Spiritualitas awam sangat sederhana dapat diartikan sebagai cara seorang awam menjawab panggilan Allah dalam tugasnya sehari-hari di tengah dunia nyata dewasa ini.

3. Gereja sebagai Persekutuan Umat dalam Terang Kitab Suci
Gereja sebagai persekutuan sangat jelas ditampakkan dalam kehidupan jemaat perdana (Gereja Purba).
Kis 2:41-47 mengungkapkan ciri-ciri jemaat perdana, yaitu:
a. Bertekun dalam pengajaran para rasul dan dalam persekutuan (ay. 42)
b. Segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama (ay. 44)
c. Dengan tekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap hari dalam Bait Allah (ay. 46)
d. Memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergiliran (ay. 46)
e. Makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati (ay. 46)

Santo Lukas menegaskan lagi mengenai gambaran yang ideal terhadap komunitas/jemaat perdana dalam Kis 4:32-37. Kebersamaan dan menganggap semua dalah milik bersama mengungkapkan persahabatan yang idela pada waktu itu. Yang pokok adalah semua naggota jemaat dicukupi kebutuhannya dan tidak seorangpun menyimpan kekayaan bagi dirinya sendiri sementara yang lain berkekurangan.

Cara hidup Jemaat Perdana tersebut tetap relevan bagi kita hingga sekarang.
Mungkin saja kita tidak dapat menirunya secara harafiah, sebab situasi sosial-ekonomi kita sudah sangat berbeda. Namun semangat dasarnya dapat ditiru, yaitu kepekaan terhadap situasi social-ekonomis sesama saudara dalam persekutuan umat. Kebersamaan kita dalam hidup menggereja tidak boleh terbatas pada hal-hal rohani seperti doa, perayaan ibadah, kegiatan-kegiatan pembinaan iman, tetapi juga menyentuh kehidupan social, ekonomi, politik, dan budaya seperti yang digalakkan dalam Komunitas Basis Gereja.

4. Gereja sebagai Persekutuan Umat Bersifat Terbuka
Gereja hadir di dunia bukan untuk dirinya sendiri. Gereja hadir dan berada dalam dunia. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari murid-murid Kristus (Gereja). Sebab persekutuan murid-murid Kristus terdiri dari orang-orang yang dipersatukan di dalam Kristus, dibimbing oleh oh Kudus dalam peziarahan menuju Kerajaan Bapa. Semua murid Kristus telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka, persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat dalam hubungannya dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1)
Singkatnya Gereja harus menjadi Sakramen (tanda) keselamatan bagi dunia. Untuk itu, Gereja tidak lagi bersifat eksklusif (tertutup) tetapi inklusif (terbuka).

Berikut ini disebutkan beberapa cara keterbukaan Gereja terhadap dunia:
a. Gereja harus selalu siap untuk berdialog dengan agama dan budaya manapun juga
Sesudah Konsili Vatikan II, Gereja sungguh menyadari bahwa dalam agama dan budaya lain, terdapat pula benih-benih kebenaran dan keselamatan. Maka dari itu, dibutuhkan dialog untuk salng mengenal, menghargai, dan memperkaya.
Dialog pengalaman iman lintas agama dapat saling memperkaya
Dialog kehidupan merupakan level dialog yang paling mendasar, sebab ciri kehidupan bersama sehari-hari dalam masyarakat majemuk yang paling umum dan mendasar adalah dialogis. Dalam kehidupan sehari-hari, aneka pengalaman menyusahkan dan menggembirakan dialami bersama-sama. Tiap-tiap orang dengan pengalaman hidupnya yang khas senantiasa tergerak untuk membagikan pengalamannya, saling membantu dalam hidup sehari-hari

b. Kerja sama atau dialog karya
Gereja harus membangun kerja sama yang lebih intens dan mendalam dengan pengikut agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih harus jelas dan tegas, yakni pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Bentuk kerja sama semacam ini kerapkali berlangsung dalam kerangka kerja sama dengan organisasi-organisasi internasional, di mana organisasi-organisai Kristen dan para pengikut agama-agama lain bersama-sama menghadapi masalah-masalah dunia (bdk. DM 31)

c. Berpartisipasi secara aktif dan mau bekerja sama dengan siap saja dalam membangun mayarakat yang adil, damai , dan sejahtera
Gereja membuka diri dan bekerja sama dengan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Gereja harus melaksanakan tugas misi dengan sikap yang positif dan aktif terhadap semua orang. Bukan dunia yang ada bagi Gereja, melainkan Gereja berada bagi dunia.

Hubungan di antara Gereja dan dunia tidak bisa terpisah. Perhatian Gereja terhadap dunia bisa dibagikan dengan empat unsur, yaitu:
1) Dorongan bagi perdamaian dunia
2) Penjelmaan keadilan bagi orang-orang dan negara-negara miskin
3) Perhatian tentang krisis ekologi
4) Demokrasi sebagai partisipasi masa

Gereja harus mempunyai empat perhatian tersebut dengan berjuang, berusaha, dan berdoa untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Usaha-usaha tersebut bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi juga secara global dan universal. Gereja harus belajar dari berbagai segi secara global untuk mencari suatu model yang ideal dengan tujuan untuk mencapai menjadikan dunia yang saling tolong-menolong dan hidup bersama.

Sumber:
1. Iman Katolik
2. Perutusan Murid-murid Yesus
3. Dewasa dalam Penghayatan Iman

SEJARAH DAYAK
Banyak teori/ pendapat tentang asal-usul orang Dayak. pendapat yang diterima umum menyatakan bahwa orang.....   »»»»

MANGKOK MERAH
Di bawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang sampai saat ini masih terpelihara, dan dalam dunia supranatural Suku.....   »»»»

PANGLIMA BURUNG
Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa.......   »»»»
KOTAK CHATTING

ShoutMix chat widget

Copyright © 2009 by Widi Agung "Tekek" Nugroho

Template by Blog Templste 4 U | Edited By Free Download